Misa dipimpin oleh Mgr. Pius Riana Prapdi

Kapel OSA Ketapang pada hari ini dipenuhi sukacita. Perayaan pesta Santo Agustinus yang agung semakin bermakna karena dirangkaikan dengan syukur atas kesetiaan hidup membiara dua suster: Sr. Skolastika, OSA yang telah 25 tahun menempuh jalan panggilan, serta Sr. Ferdinanda, OSA yang merayakan 12,5 tahun hidup bakti.

Dalam kesempatan itu, Bapa Uskup menanyakan kepada kedua suster: Apa arti setia?
Sr. Skolastika menjawab, “Setia berarti komitmen.”
Sr. Ferdinanda menambahkan, “Setia berarti kerendahan hati.”

Jawaban sederhana itu mengantar kita masuk dalam permenungan iman: kesetiaan dan kebijaksanaan adalah dua keutamaan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Santo Agustinus, seorang Bapa Gereja yang sangat berpengaruh dan dekat dengan semangat para rasul.


Setia dan Bijaksana dalam Terang Santo Agustinus

Kesetiaan selalu terkait dengan relasi kita kepada Allah, sedangkan kebijaksanaan menyangkut cara kita berelasi dengan sesama dan semesta. Orang yang setia adalah pribadi yang jujur dan dapat diandalkan; sementara orang yang bijaksana adalah pribadi yang tidak mudah terombang-ambing oleh emosi, tidak cepat menghakimi, dan tentu saja menjauhi kebiasaan “menggibah” atau membicarakan kejelekan orang lain.

Kebijaksanaan juga berarti lebih dahulu melihat ke dalam diri sendiri daripada sibuk mencari kesalahan orang lain. Santo Agustinus tidak serta-merta menjadi pribadi yang setia dan bijaksana. Ia menempuh jalan panjang yang penuh pergumulan. Bagi Agustinus, kebijaksanaan lahir dari dua hal: perjuangan manusiawi dan rahmat Allah.

Perjuangan manusiawi itu tampak dari teladan yang ia jumpai: Santo Ambrosius yang tak pernah lelah mendorongnya membaca Kitab Suci, serta kisah Santo Antonius Pertapa yang menggugah hatinya untuk bertobat. Ia sendiri mengakui: “Berapa lama lagi, Tuhan? Mengapa aku masih menunda untuk mengakui dosaku, padahal hidupku terjerat nafsu?”

Namun, perjuangan manusiawi tidak pernah cukup tanpa rahmat ilahi. Rahmat itu dialaminya melalui doa ibunya, Santa Monika, yang dengan setia mendoakannya selama 18 tahun. Agustinus bersaksi: “Aku dibaptis oleh air mata ibuku.” Baginya, ada dua macam doa: doa dengan kata-kata biasa, dan doa dengan air mata—dan tidak ada pintu yang tertutup bagi doa dengan air mata.

Akhirnya, pengalaman rahmat itu memuncak ketika Agustinus mendengar firman Tuhan: “Ambillah dan bacalah!” (lih. Rm 13:13). Ayat itu melucuti dirinya dari belenggu dosa yang ia hidupi lebih dari 30 tahun. Sejak itu, ia dibimbing untuk hidup sopan, bermoral, dan membuat pilihan sesuai kehendak Allah.


Kesetiaan yang Berbuah dalam Komunitas

Bacaan kedua dalam perayaan ini menegaskan bahwa kesetiaan dan kebijaksanaan diwujudkan dalam kehidupan bersama. Jemaat perdana digambarkan sebagai komunitas yang setia memecahkan roti di rumah masing-masing, hidup dalam kebersamaan, dan karena itu “disukai semua orang.” Dari kesaksian hidup nyata, jumlah mereka bertambah.

Bapa Uskup mengajak kita membayangkan, seandainya kualitas hidup beriman kita benar-benar setia dan bijaksana, tentu kuantitas pun akan bertambah. Banyak orang akan terpanggil menjadi katekumen, menjadi prodiakon, bahkan menjadi imam, bruder, dan suster. Panggilan tidak lahir dari kata-kata semata, melainkan dari kesaksian hidup yang nyata.

Kesaksian yang sama juga membangkitkan kerinduan kaum muda untuk menjadi pelayan Gereja. Syukur kepada Allah, di Keuskupan Ketapang kini ada calon imam dan imam baru yang siap melayani. Namun, pertanyaan bagi kita semua tetaplah sama: masihkah ada orang yang rela menjadi ketua stasi, ketua lingkungan, prodiakon, atau pengurus DPP? Hidup menggereja bukan hanya soal jumlah, tetapi kualitas—sebuah kebanggaan untuk menjadi Katolik sejati.


Gembala yang Berbau Domba

Bacaan Injil hari ini menegaskan identitas kita semua: setiap orang dipanggil menjadi gembala. Baik sebagai suster, bruder, imam, maupun dalam hidup berkeluarga, kita semua adalah pemimpin bagi jiwa kita sendiri. Seperti diingatkan oleh arah dasar Keuskupan Ketapang, arah Gereja adalah membangun persaudaraan murid-murid Kristus.

Keluarga, pastoran, maupun komunitas religius adalah “titik nol” pelayanan pastoral. Di sana kita belajar menjadi pribadi yang setia, bijaksana, rendah hati, dan murah hati. Kesempurnaan Kristen tidak lain adalah kemurahan hati, seperti yang diajarkan Yesus: “Hendaklah kamu murah hati seperti Bapamu di surga murah hati adanya.”

Santo Agustinus mengajarkan bahwa kemurahan hati berarti tidak menghakimi, tidak mencari kesalahan orang lain, tetapi berani menjadi seperti Bapa yang penuh belas kasih dalam perumpamaan anak yang hilang. Maka, perayaan Santo Agustinus kali ini mengundang kita semua untuk bertanya: Apakah komunitasku sudah menjadi cerminan Bapa yang murah hati?


Penutup

Dalam teladan Santo Agustinus, kita belajar bahwa kesetiaan menuntut komitmen, dan kebijaksanaan menuntut kerendahan hati. Seperti doa penuh air mata Santa Monika, dan seperti ketekunan Santo Ambrosius, kita pun dipanggil untuk saling menopang dalam perjuangan iman.

Kiranya perayaan ini mengingatkan kita bahwa menjadi Katolik bukan hanya identitas, melainkan panggilan untuk memberi kesaksian, membangun komunitas, dan menghadirkan kemurahan hati Allah di tengah dunia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini