Dok. Seusai dilaksanakannya upara adat “penaikan 18 buah Tajau” di depan gedung paroki St. Carolus Borromeus Tembelina

Senin, 17 November 2025, pkl. 09.00 WIB – 13. 30 WIB, di Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina merupakan hari penuh sejarah. Pada hari ini bersama seluruh eleman masyarakat, RD. Fransiskus Joko Umbara dan RD. Petrus Riyant dengan para tokoh, pemuka, dan lembaga adat, DPP, OMK dan para suster SCIM melaksanakan upacara “Penaikan Tajau” di Gereja Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina (Lih. https://www.youtube.com/shorts/Uo-F21ItNOE). Upacara adat “Penaikan Tajau” – yang ditandai dengan penaikan tajau sebanyak 18 buah. Salah satu hal menarik ialah terkait jumlah tajau, yaitu sebanyak 18 (delapan belas) buah.

Angka 18 (delapan belas) ini jika dimaknai secara biblis melambangkan berakhirnya perbudakan, sebagaimana di dalam Injil Lukas, perempuan yang menderita selama 18 tahun disembuhkan oleh Yesus (Luk 13:10-13). Hal ini sejatinya menyiratkan makna implisit akan penantian dan harapan umat terhadap kehadiran, kedatangan karya misi keselamatan Tuhan lewat kehadiran dan pelayanan para suster SCIM di Paroki Tembelina. Sebagaimana adat “Penaikan Tajau” ini merupakan ritus atau prosesi yang diadakan menjelang hari-H untuk pesta pelindung paroki sekaligus Misa Kudus peletakan misi pertama bagi suster SCIM (Suster-suster Cinta Kasih Santo Yosef dari Mirine) dari Korea Selatan di tanah Borneo, khususnya di Keuskupan Ketapang, Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina.

Seusai pelaksanaan upacara adat “Penaikan Tajau” kemudian, dilanjutkan dengan dialog – mufakat bersama di Pastoran Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina. Mufakat ini dihadiri oleh para tokoh dan lembaga adat (DAD, TBBR, Demong Adat, Tumenggung, dan Pelaksana Adat), para pastor dan para suster SCIM, DPP, serta OMK. Pembahasan bersama di dalam diskusi – mufakat ini dapat dikerucutkan ke dalam tiga poin penting.

Pertama, menindaklanjuti kebersamaan dan keharmonisan dalam semangat dialog iman dan kebudayaan di Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina. Dialog ini terwujud sebagaimana secara nyata di dalam Pesta Pelindung Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina sekaligus penyambutan karya misi para suster SCIM di tanah Kalimantan, khususnya di Tembelina yang ditandai dengan upacara  adat “Penaikan 18 buah Tajau”. Terlebih, adanya forum diskusi dan mufakat bersama yang dilakukan antara tokoh gereja dan tokoh adat, seusai upacara adat. Seusai forum diskusi kemudian dilanjutkan dengan makan bersama sebagai wujud syukur dan kebersamaan di dalam ikatan kasih persaudaraan.

Kedua, mendiskusikan pula soal nilai-nilai kebudayaan yang kiranya sejalan dan selaras dengan ajaran Gereja Katolik terkait dengan inkulturasi iman dan budaya. Yang mana dari nilai-nilai luhur budaya tersebut kiranya dapat diterapkan di Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para pemangku adat, seperti upacara adat kelahiran, kematian, dan pernikahan. Sebagaimana hal ini, ditegaskan di dalam ajaran Gereja bahwa inkulturasi adalah upaya Gereja untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani ke dalam kerangka budaya lokal, sehingga iman dapat dihayati secara lebih mendalam dan bermakna dalam konteks budaya setempat, tanpa mengorbankan esensi ajaran Katolik itu sendiri (Lebih jauh lih. Ricky Fernando Sitio, file:///C:/Users/IDEA/Downloads/1.+Ricky+Fernando+Sitio.pdf).

Ketiga, visi misi berjalan bersama antara Gereja dan budaya. Visi misi ini pertama-tama beranjak dari keprihatinan dan kebutuhan di tengah masyarakat. Secara khusus ialah soal pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan kaderisasi bagi orang muda dan masyarakat secara umum di Paroki St. Carolus Borromeus Tembelina sebagai gerakan bersama untuk menjunjung tinggi dialog iman dan kebudayaan. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam “Pedoman Pastoral Keuskupan Ketapang 2018” bahwa Gereja lokal adalah persekutuan umat Allah yang terlibat aktif dan berakat dalam masyarakat dan budaya setempat”. Berangkat dari kebutuhan itu, salah satu usulan dari pemuka adat dari Stasi St. Lukas Pengatapan ialah mengundang sekaligus mengajak seluruh pihak untuk mendukung pendokumentasian kearifan lokal mengenai ritus, upacara maupun hukum-hukum adat di dalam bentuk tertulis. 

Adapun dari hasil mufakat dan duduk bersama, dapat ditarik benang merah bahwa iman dan kebudayaan bukan untuk dipertentangkan melainkan saling melengkapi dan memperkaya satu dengan yang lain. Dalam hal ini Pak Nikolaus Syukur, selaku DAD (Dewan Adat Dayak) Kecamatan Sungai Melayu Rayak menyatakan bahwa agama dan budaya itu mestinya sejalan, seirama, dan senada. Lebih jauh, Pak Nikolaus Syukur menggarisbawahi, “sejauh tentang nilai-nilai kemanusian dan kehidupan bersama, kekayaan spiritual, dan kehidupan moral masyarakat”.

Dok. Prosesi ritual adat bersama para tokoh dan elemen masyarakat adat di depan Gedung Gereja Paroki

RD. Petrus Riyant menanggapi secara positif adanya dialog, diskusi, dan mufakat bersama ini dengan mengatakan bahwa dialog iman dan kebudayaan mesti dijalankan demi kesejahteraan dan keselamatan semua orang. Lebih jauh, RD. Petrus mengumandangkan semangat dasar dialog antara iman dan kebudayaan dengan mengambil salah satu peribahasa adat Dayak yang berbunyi, “krasik mulaq tumbuh, tanah mulaq menjadik; hidup di kandung adat, mati di kandung tanah” – “lahir beradat, nikah beradat, mati pun kita beradat”. 

Dengan kata lain, makna dari peribahasa ini senada dengan makna biblis di dalam Kitab Perjanjilan Lama (Kej 1-2), yang berbunyi, “Pada mulanya Allah menciptakan, … dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Sebagaimana Allah menciptakan manusia dari debu tanah, maka dalam artian ini dari tanah akan kembali menjadi tanah; dari Allah akan kembali kepada Allah. Adapun di dalam Perjanjian Baru, Yesus menegaskan bahwa hukum yang pertama dan terutama ialah hukum cinta kasih (Yoh 13:34) – kasih terhadap Tuhan, sesama, dan alam ciptaan (Mrk 28: 28-34). Maka adaya – lahirnya adat istiadat dengan seperangkat norma dan peraturan, serta sanksi-sanksinya, pertama-tama ialah mesti mengabdi kepada kepentingan bersama, kebaikan, dan kesejahteraan bersama serta keselamatan manusia, bukan sebaliknya hukuman, penghakiman, dan perbudakan.

Senada dengan itu, RD. Fransiskus Joko Umbara menegaskan bahwa agama dan budaya itu seperti pakaian, saling melengkapi dan tidak terpisahkan. RD. Joko memberikan gambaran “kita tidak mungkin pergi ke indomart hanya menggunakan baju tanpa celana, atau sebalinya hanya menggunakan celana tanpa baju”. Artinya, kita tidak mungkin sampai kepada kepenuhan hidup yang sempurna, tanpa (jika mengabaikan) antara iman dan kebudayaan, ajaran dan aturan, nilai-nilai luhur dan keutamaan moral.

Dalam arti ini RD. Joko Umbara sejatinya menggarisbawahi soal pentingnya menghormati kodrat (budaya) manusia dan mengangkatnya lewat dialog iman dan kebudayaan (Lih. Dokumen Gaudium et Spest Art. 53). Lebih jauh di dalam Gaudium et Spest Art. 53 dikatakan bahwa Konsili Vatikan II, melalui dokumen ini, bermaksud untuk terlibat dalam dialog dengan seluruh keluarga manusia mengenai berbagai masalah ini, dengan membawa terang Injil dan sumber daya keselamatan yang diterima Gereja. Sebagaimana di dalam prinsip inkulturasi ditekankan bahwa mesti terjadinya inkarnasi injil dan saling memperkaya, baik bagi Gereja maupun kebudayaan itu sendiri (Lebih jauh Lih: Gereja yang Terlibat: Dialog Iman, Budaya, dan Teologi Paus Fransiskus. http://repository.iftkledalero.ac.id/2386/1/Analisis%20Solutif%20atas%20Perjumpaan.pdf .

Ditulis oleh RD. Petrus Riyant

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini