MERAWAT ALAM, PENYEDIA PANGAN UNTUK KEHIDUPAN
Dibacakan pada hari Sabtu-Minggu Tanggal 14-15 Oktober 2023 sebagai pengganti homili.
Ibu Bapak, Para Imam, Biarawan-wati, Rekan-rekan muda dan Saudari-saudaraku yang terkasih,
1. Merawat Alam, Penyedia Pangan untuk Kehidupan, itulah tema Hari Pangan Sedunia, pada hari Minggu, 15 Oktober 2023. Merawat berarti menjaga atau memelihara. Paus Fransiskus memaknai merawat dengan kelembutan jiwa. “Oh Allah yang Mahakuasa, Engkau hadir di setiap alam raya. Di setiap makhluk-Mu yang terkecil, Engkau memeluk semua jiwa yang ada dengan kelembutan jiwa.” (Doa untuk Bumi). Merawat alam artinya kita memeluk alam dan menyadari bahwa dalam setiap mahluk, Allah hadir. Dalam bacaan pertama, Yesaya menggambarkan perjamuan Gunung Sinai sebagai Allah yang murah hati. “Tuhan semesta alam, akan menghidangkan segala bangsa suatu jamuan dengan masakan mewah, suatu jamuan dengan anggur yang tua benar, suatu jamuan dengan lemak dan sumsum.”
2. Tuhan menciptakan alam dan melalui alam Allah menyediakan semua yang kita perlukan. Kemurahan hati Allah tampak melalui alam. Bagi Masyarakat Dayak, hutan bagaikan supermarket. Hutan adalah tempat untuk berburu, meramu dan sumber rejeki. Hutan adalah sumber obat. Hutan adalah kehidupan. Pada hari Pangan Sedunia ini, mari kita bertanya apa yang terjadi dengan supermarket kita? Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang ada 673.200 ha tanah yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan untuk perkebunan sayur mayur luasnya 325 ha (data tahun 2020). Ada ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan sayur serta lahan pertanian. Semakin sedikit petani yang berladang, karena perubahan pekerjaan, dari petani menjadi pekerja sawit, atau tambang.
3. Alam yang disediakan oleh Allah sesungguhnya digunakan untuk menjalani hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh 10:10). “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej. 1:28b). Tuhan menyuruh manusia untuk “menaklukkan bumi dan berkuasa”. Teks ini harus langsung dikaitkan dengan Kej 2:18: Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seroang diri saja. Aku akan menjadikan penolon baginya yang sepadan dengan dia”. Dari situ dapat ditarik pemahaman bahwa kita semua dipanggil untuk menjadi penolong bagi sesama dan semesta. Artinya kita dipanggil bukan hanya untuk memanfaatkan tetapi merawat, memelihara dan menciptakan kembali (menyembuhkan) alam ciptaan yang rusak agar menjadi baik adanya. Saudari-saudaraku terkasih,
4. Sejak bulan Juli kita mulai mengalami musim kemarau. Terdeteksi ada sekitar 291 titik api di Ketapang. Kekeringan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Kabut asap makin terasa. Sungai-sungai semakin kering dan air diracun bahkan ada yang menggunakan aliran listrik untuk menangkap ikan. Hampir semua spesies yang ada di sungai tidak tersisa. Sungai tidak sehat, ikan yang hidup di dalamnya pun tidak sehat karena masih ada orang tega yang membuang sampah ke sungai. Selain sungai menjadi tercemar, sampah anorganik pun sulit terurai. Pernahkah kita bertanya berapa banyak organisme yang mati di sungai akibat limbah sampah? Demikian pula penggunaan pupuk kimia menyebabkan tanah tidak sehat. Tanah yang tidak sehat akan membuat tanaman tidak sehat. Padahal “kita sendiri dibentuk dari debu tanah – Kej 2:7, (Laudato Si, 2)”. Bumi rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita. Bumi juga merasakan sakit ketika mengalami panas yang begitu menyengat. Tanah sekarang menjerit karena pupuk kimia yang berlebihan hingga membuatnya gersang.
5. Marilah kita renungkan: bagaimanakah kita mendapatkan pangan yang sehat, jika alam sudah tidak sehat? Paus Fransiskus mengingatkan kita tentang air. “Masalah air adalah masalah yang sangat serius. Kualitas air yang tersedia bagi orang miskin menyebabkan banyak kematian setiap hari. Penyakit yang berhubungan dengan air banyak ditemukan di antara orang miskin, termasuk yang disebabkan oleh mikro-organisme dan zat kimia. Disentri dan kolera, yang terkait dengan layanan higienis dan persediaan air yang tidak aman menjadi penyebab nyata penderitaan dan kematian bayi” (Laudato Si’, 29). “Sembuhkanlah kehidupan kami, agar kami mampu melindungi bumi, bukan malah menjarahnya”. Doa yang dilantunkan dalam Laodato Si’ menuntun kita untuk berani berbuat sesuatu. Dalam Bacaan Injil hari ini, Yesus menyampaikan perumpamaan Kerajaan Surga bagaikan seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya. Perjamuan setingkat raja tentu dipenuhi makanan miuman yang berkualitas dan melimpah. Makanan dan minuman yang sehat didapatkan dari alam yang sehat.
6. Masyarakat Dayak memiliki tradisi baik yang diwariskan secara turun temurun, dari jaman ke jaman yaitu ladang berpindah. Tradisi ini menghasilkan padi yang sehat dengan pupuk alam berupa abu dari hasil membakar. Tradisi ini perlu kita jaga secara cerdas sebab hutan semakin berkurang. Kita dapat belajar dari praktik baik yang sudah dilakukan petani Dayak di Paroki Salib Suci Menyumbung dengan membuat sawah organik. Diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat dan CU, didukung oleh Pemerintah Desa dan Gereja, tahun 2020 mereka mengubah ladang berpindah menjadi ladang bersawah. Mereka membuka lahan sawah sekitar 300an Hektar. Sampai saat ini ada 53 Kepala Keluarga yang menerapkan budidaya sawah secara inbrida, konvensional dan tradisional dengan semangat gotong royong. Hasilnya sangat besar. Mereka dapat memenuhi kebutuhan beras di kecamatan Hulu Sungai. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos dengan memanfaatkan sampah daun dan kotoran hewan. Mereka menjaga kelestarian alam dan berusaha agar sawah mereka tetap subur dan menjadi berkat untuk petani sebagai usaha berkelanjutan.
7. Praktik baik lain ada di Paroki Tanjung. Ada budidaya maggot. Maggot adalah ulat yang memakan sampah organik. Maggot yang berumur 10-25 hari akan memakan semua jenis sampah organik. Lalu sampah organik itu difermentasi sampai terurai dan remah. Kalau sudah terurai, sisa makanan maggot akan menjadi kasgot. Kasgot inilah yang akan menjadi pupuk organik, ramah lingkungan, tidak melalui proses kimia. Maggot dapat dijadikan makanan ikan atau makanan ayam yang kaya protein. Saudari-saudara terkasih,
8. Dalam bacaan kedua Rasul Paulus mengajak kita untuk selalu bersyukur baik dalam kelimpahan maupun dalam kelaparan. Bersyukur berarti tidak lelah bekerja keras. Data stunting di Ketapang adalah 21,3%. Kita masih terus bekerja keras untuk mengatasi gizi buruk. Kita tidak pernah lelah untuk mengajak agar para orangtua memiliki pemahaman kesehatan yang cukup, melaksanakan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berusaha untuk mengentaskan kemiskinan. Mengucap syukur dalam kelaparan berarti berani berbagi dengan sukacita seperti janda miskin yang memasukkan dua peser uang dalam kotak persembahan. Kita sudah banyak menerima hasil dari alam, seperti pepatah mengatakan “sasak behundang, arai beikan, hutan bejaluk”. Alam telah memberi segalanya maka saatnya kita tiada lelah merawat alam kelembutan hati.
9. Saya berterima kasih dan bersyukur kepada begitu banyak pribadi, keluarga, kelompok tani, kelompok pemerhati lingkungan dan semua pihak yang telah, sedang dan akan selalu melakukan tindakan-tindakan cerdas dan bijaksana merawat dan menjaga alam dengan hati tulus. Alam ini bagaikan jubah Allah. Mari kita jaga jangan sampai terkoyak jubahNya. Maka kita tidak lelah merawat alam dengan tindakan-tindakah sederhana tapi nyata. Tidak lagi berkata: “membuang sampah” tetapi “menaruh sampah”. Tidak lagi membuang makanan tetapi makan nasi sampai butir terakhir. Tidak lagi membuang air tetapi minum air sampai tetes terakhir. Untuk mengurangi sampah plastik, bawalah botol air minum sendiri. Hentikan menebang pohon dan tanamlah pohon. Jangan buang sembarangan biji-biji buah yang kita makan tetapi tebarkan biji-biji buah itu di sepanjang pinggir jalan setiap kali kita bepergian. Mencintai Tuhan berarti mencintai semesta. Mencintai semesta berarti mencintai sesama.
Ketapang, 4 Oktober 2023 Peringatan St. Fransiskus Assisi Mgr. Pius Riana Prapdi