Benih, Doa, dan Cerita Umat di Ladang

0
18

Terhitung sejak 15 Juli mulai bertugas di Paroki Santa Maria Assumpta Tanjung, kini belum genap tiga bulan, sudah ada pengalaman yang sulit dilupakan: ikut menugal di ladang-ladang umat. Pengalaman sederhana ini ternyata menyimpan cerita mendalam tentang kebersamaan, keakraban, dan bagaimana iman bertumbuh di tengah kehidupan sehari-hari umat.

Ladang-ladang umat tersebar di berbagai tempat. Ada yang dekat dan mudah dijangkau, namun ada juga yang jauh hingga harus ditempuh dengan motor. Bahkan, beberapa lokasi hanya bisa dicapai dengan menyeberangi sungai menggunakan perahu. Semua itu menjadi bagian dari perjalanan yang penuh kesan. Sejak duduk di kelas 2 SMP, terakhir kali menugal di ladang sendiri di kampung, maka sudah sangat lama pengalaman itu tidak dialami. Maka keterampilan menugal jelas perlu diasah kembali.

Menugal di Ladang Pak Thomas

Pergi ke ladang tentu tidak bisa sembarangan. Saya membawa buku doa berkat benih, parang, bertopi, mengenakan baju dan celana panjang agar lebih siap menghadapi semak, sinar matahari, dan debu. Ketika tiba di ladang, bau abu bekas lahan yang baru dibakar begitu khas menyambut. Di tengah lahan sudah terkumpul penangkin (tempat membawa padi yang digendong di punggung) serta karung-karung berisi benih padi biasa, ketan, juga sayuran seperti mentimun, labu, dan kundur. Semua siap ditaburkan di tanah yang sudah disiapkan dengan penuh kerja keras.

Hadir di tengah-tengah umat yang turut menugal terasa begitu bersahabat. Saya diterima dengan penuh sambutan, dan wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Bahkan, sebagian umat tampak tidak percaya melihat saya benar-benar hadir dan ikut menugal bersama mereka. Keraguan itu saya jawab dengan senyum dan penegasan bahwa saya orang Dayak, dan dulu pernah menugal ketika kecil. Pelan-pelan, keraguan itu sirna, tergantikan oleh fokus bersama untuk menyelesaikan pekerjaan yang cukup menguras energi.

Sebagai orang baru, tentu tidak mudah mengikuti ritme kerja umat yang sudah terbiasa. Maka saya memutuskan untuk separuh ladang ikut menugal (membuat lubang untuk menabur benih) dan separuh ladang saya membantu menabur benih ke lubang yang sudah ada atau membanih. Umat memaklumi gaya saya yang sedikit berbeda, dan hal itu justru membuat suasana semakin akrab. Saya sudah siap dipermalukan.

Menugal di Ladang Pak Aciang

Lebih indah lagi, pengalaman menugal dimulai dengan doa bersama. Benih-benih yang akan ditaburkan lebih dahulu diberkati, sambil memohon kesehatan, keselamatan kerja, sukacita, dan hasil panen yang maksimal dari kemurahan Tuhan. Berdoa bersama umat di ladang ini menghadirkan rasa syukur yang mendalam. Rasanya seperti merasakan kembali makna iman yang hidup dalam keseharian.

Dalam proses menugal yang penuh keringat dan menguras tenaga, ternyata ada cara-cara sederhana untuk menghilangkan lelah. Ada yang ngobrol ringan, bercanda, bahkan sampai menggelagak (istilah untuk ngobrol santai penuh tawa). Ada pula yang jadi penggelagak, atau orang yang mengada-adakan cerita supaya lucu. Ada pula yang bercakap sambil membicarakan hal-hal sehari-hari, bahkan sesekali tentang orang lain. Yang terpenting, semua yang hadir berusaha membuat pekerjaan cepat selesai, sambil meringankan rasa lelah dengan saling berbicara dan berbagi cerita.

Saya lebih banyak fokus menugal dan menabur benih. Namun, sambil bekerja saya menyimak banyak hal yang diungkapkan umat. Ada yang bercerita tentang alasan tidak ke Gereja lagi, ada yang mengungkapkan kerinduannya untuk kembali namun terhalang situasi. Ada juga yang curhat tentang keluarga, pekerjaan, bahkan masalah hidup yang pilu. Tak jarang ada yang mengakui keputusan-keputusan hidupnya yang keliru. Saat itu saya hadir, mendengarkan lebih banyak cerita mereka daripada berbicara.

Menugal di Ladang Pak Muli

Mendengarkan kisah umat di ladang membuat saya teringat pada Yesus. Mungkin beginilah Yesus dulu hadir di tengah umat: berjalan, mendengar, menyimak, dan mengajar dari cerita-cerita yang keluar begitu saja dari hati orang-orang sederhana. Yesus sepertinya bertemu dengan para penggelagak. Dari sanalah Yesus melanjutkan pewartaan-Nya demi kita. Yesus hadir di tengah mereka demi iman mereka.

Syukurlah Yesus datang. Kalau tidak, mungkin kita tidak tahu atau kurang paham bagaimana Allah sungguh hadir di tengah umat, bahkan dalam kehidupan mereka yang sederhana di ladang. Di situlah saya belajar kembali, bahwa iman tidak hanya hidup di dalam tembok Gereja, tetapi juga tumbuh subur di tengah abu bekas bakaran, di barisan lubang tugal, di antara butir-butir benih yang ditaburkan dengan penuh harapan.

Pengalaman menugal ini menjadi pelajaran berharga: bahwa pastoral bukan hanya soal berkhotbah, melainkan juga soal hadir, bekerja, mendengarkan, dan berjalan bersama umat. Itulah ladang misi yang nyata, ladang di mana benih iman ditabur bersama benih padi, sambil berharap hasil yang berlimpah dari Tuhan.

Ditulis oleh Fr. Memet

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini