Jumat, 20 September 2024, pkl. 08.00 WIB – 11.30 WIB merupakan hari yang penuh rahmat bagi umat di stasti St. Yusuf Tempesuan. Rahmat sukacita ini ditandai dengan ibadat pemberkatan tongkat pertama untuk pembangunan gedung gereja di stasi. Ibadat pemberkatan ini dipersembahkan oleh RD. Bonifasius Ubin, selaku Pastor Kepala Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi. Ibadat pemberkatan ini dihadiri oleh seluruh umat stasi bersama Para Tukang, Panitia Pembangunan, Dewan Adat setempat dan DPP (Dewan Pastoral Paroki) serta Aparat Desa dan perwakilan dari agama lain. Hal ini sejalan dengan “Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri, NO. 8 / N0. 9”, khususnya pada Bab IV, pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 yang mengatur tentang “Pendirian Rumah Ibadat” (Lih. https://ntt.kemenag.go.id/file/file/dokumen/rndz1384483132.pdf).

 Dalam ibadat pemberkatan ini, petugas lektor dipesembahkan oleh Sr. Gege, OSA, sedangkan doa umat oleh Bruder Agus FIC. Hal menarik dari prosesi upacara pemberkatan tongkat pertama ini ialah pengejawantahan karya keselamatan Kristus lewat dialog iman dan kebudayaan. Dialog iman ini nampak jelas di dalam ritus pemberkatan, sebagaimana setelah dilakukan pemberkatan sesuai ritus Gereja Katolik kemudian dilanjutkan dengan pemberkatan sesuai adat istiadat setempat, yang disebut dengan “patik umpan, jamuk jimah”. Adat “patik umpan, jamuk jimah” ini ditandai dengan menumpahkan tuak ke tanah dan dilanjutkan dengan ritus pemotongan hewan berupa ayam sekaligus pengolesan darah ayam untuk setiap lobang tiang fondasi bangunan gereja.

Penumpahan tuak ke tanah, “patik umpan, jamuk jimah” ini sejatinya merupakan doa, harapan, permohonan, dan ucapan syukur kepada Sang Pencipta kehidupan, sebagaimana dalam peribahasa adat dikatakan, “krasik mula tumbuh, tanah mula menjadik”. Hal ini mengungkapkan kesadaran orang Dayak sebagai manusia bahwa asal muasal dari apa yang hidup dan tumbuh di bumi ini ialah berasal dari Sang Pencipta. Karena itu, penumpahan tuak ke tanah di dalam ritus penacapan tiang pertama ini memiliki arti dan makna yang mendalam bahwa seluruh ucup doa dan permohonan tertuju kepada Sang Pencipta agar Gedung Gereja ini menjadi satu-satunya kehidupan, pengharapan, dan tumpuan hidup umat beriman. Dengan demikian ritus adat “patik umpan, jamuk jimah”, yang dikumandangkan dengan bahasa adat Dayak Pesaguan “krasik mula tumbuh, tanah mula menjadik” sejatinya sejalan dengan teologi Gereja Katolik, sebagaimana di dalam kisah penciptaan TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7).

Dialog iman dan kebudayaan yang dilakukan di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi ini sejalan dengan prinsip di dalam Dokumen LG (Lumen Gentium) No. 17 yang menegaskan bahwa dengan usaha-usahanya Gereja menyebabkan, bahwa segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipusipunya setan dan kebahagiaan manusia. Jelas dengan demikian bahwa dialog iman dan kebudayaan yang dilakukan bukan semata ritus belaka melainkan pengejawantahan karya keselamatan Allah di tengah-tengah dunia, sebagaimana di dalam LG (Lumen Gentium) No. 36, dikatakan bahwa “Demikianlah Kristus melalui para anggota Gereja akan semakin menyinari segenap masyarakat manusia dengan cahaya-Nya yang menyelamatkan”.

Adapun pemotongan hewan berupa ayam dan pengolesan darah ayam di setiap lobang yang akan ditancapkan tiang bangunan merupakan internalisasi dari harmonisasi manusia dan seluruh alam ciptaan di dalam pengorbanan dan pengudusan. Singkatnya bahwa ritus pemotongan hewan berupa ayam, sebagaimana darah ayam tersebut dioleskan pada lobang untuk tiang pembangunan memiliki makna yang sejalan dengan Karya keselamatan Kristus di kayu salib. Darah ayam sejatinya menjadi simbolisasi penebusan darah Kristus bagi keselamatan umat manusia, sebagaimana di dalam 1 Yoh 1:7 dikatakan, “Tetapi jika kita hidup di dalam terang, sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa”. Dalam hal ini, Rasul Paulus menegaskan bahwa:

Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup tapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan. Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah. Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga” (1 Korintus 15:45-47).

Penulis: Frater Petrus Riyant (Calon Imam Keuskupan Ketapang).

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini