Sabtu-Minggu, 11-12 Oktober 2025, Desa Manjau – Kami menamai kegiatan ini “Pilgrims of Seminarians” (PoS) — diambil dari kata Pilgrims yang berarti peziarahan, dan Seminarians yang berarti para seminaris. Meski mungkin belum sebanding dengan Pelegrinasi Tahun Orientasi Rohani, refleksi dan semangat di dalamnya tak jauh berbeda. PoS menjadi semacam “santapan pembuka” bagi para seminaris tingkat menengah untuk merasakan makna peziarahan sejati — sebuah latihan kecil menuju pengalaman rohani yang lebih mendalam di masa mendatang.
Jika para Frater TOR sebelum penjubahan menempuh pelegrinasi selama empat hingga lima hari tanpa bekal makanan dan minuman, maka PoS versi Seminari Menengah St. Laurensius Ketapang menjadi langkah awal yang sederhana namun bermakna. Rute ziarah kali ini menuju Gua Maria Kaderun di Desa Manjau, sekitar 42 kilometer dari Ketapang — jarak yang bila ditempuh dengan berjalan kaki bisa mencapai 14 jam lebih.
Untuk memperpendek jarak, Frater Sesco mengantar Romo Agustinus Mujianto, Rektor Seminari Menengah St. Laurensius, ke titik start di Desa Sungai Putri. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 35 kilometer. Terik matahari menyengat, langkah terasa berat, namun semangat tidak surut. Setelah tujuh jam berjalan hingga Laman Satong — masih tiga jam lagi menuju Manjau — kelelahan mulai terasa. Melihat para seminaris kehabisan tenaga, Frater Sesco akhirnya memutuskan untuk mengangkut mereka menggunakan minibus menuju Desa Manjau.
Namun, di depan sana, beberapa seminaris masih terlihat kuat melangkah, bahkan hampir tiba di Manjau. Kami akhirnya berkumpul kembali dan bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Gua Maria Kaderun. Malam itu kami beristirahat di gedung LPHD Desa Manjau — bangunan sederhana yang biasa digunakan untuk kegiatan KKN. Lantai beralas tikar seadanya menjadi tempat kami melepas lelah setelah perjalanan panjang.
Pagi yang Dingin di Bawah Naungan Bunda Maria
Keesokan paginya, udara terasa sejuk. Beberapa seminaris bangun lebih awal untuk mandi di aliran mata air dekat Gua Maria. Airnya dingin dan menyegarkan — seolah menghadirkan berkat tersendiri. Satu per satu, kami berendam bersama Romo Gabriel Bala dan Romo Agustinus Mujianto, menikmati kesejukan di bawah naungan Bunda Maria Kaderun.
Setelah berendam, kami berkumpul untuk sarapan yang telah disiapkan oleh ibu-ibu dari Desa Manjau. Sambil menikmati keindahan alam sekitar, kami menyantap hidangan sederhana namun penuh kasih. Tepat pukul sembilan pagi, semua bersiap mengikuti misa di area gua.
Rosario dan Ekaristi: Puncak Peziarahan
Suasana misa pagi itu sungguh khidmat. Butiran doa rosario mengalun lembut, menyatukan suara kami dengan para peziarah dan umat sekitar. Romo Abe, Romo Agus, dan Romo Bala memimpin perayaan Ekaristi dengan penuh sukacita. Frater Sesco bertugas sebagai akolit, sementara para seminaris mengambil peran sebagai lektor, pemazmur, dan anggota paduan suara.
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, momen misa itu terasa sebagai puncak kebahagiaan — tempat kami menemukan kekuatan dan kedamaian di hadapan Tuhan.
Syukur dan Kejutan di Perjalanan Pulang
Usai misa, kami dijamu makan siang oleh keluarga umat di Desa Manjau. Dalam suasana kekeluargaan yang hangat, Romo Agus memimpin ibadat pemberkatan anak yang baru lahir. Hadir pula dua Suster OSA kontemplatif asal Filipina, menambah sukacita kebersamaan hari itu.
Tak lama kemudian, kami diundang oleh teman-teman OMK Stasi Manjau — Erni, Indra, dan Wela — untuk makan bersama. Banyak seminaris tertidur kelelahan setelah makan, hingga sore hari tiba waktunya untuk kembali pulang.
Namun perjalanan pulang ternyata tidak semulus yang kami harapkan. Ketika melewati jalur Siduk, mobil yang kami tumpangi tiba-tiba mati di tengah tanjakan. Lebih buruk lagi, rem tidak berfungsi. Situasi berubah menegangkan.
“Rem tangan, Ter! Rem tangan!” teriak Romo Agus panik.
Namun cengkeraman rem sama sekali tidak menahan laju mobil. Kami mulai mundur ke belakang, dan di sisi kiri jalan menganga jurang yang curam.
Dalam kepanikan itu, Frater Sesco tetap tenang. Ia memutar setir ke kiri, mengarahkan mobil agar menabrak sisi tanah dan kayu di pinggir jalan — satu keputusan cepat yang menyelamatkan kami. Mobil akhirnya berhenti, hanya satu setengah meter sebelum jurang di sisi kanan yang juga mengarah ke sungai.
Suasana hening. Semua terdiam, antara shock dan bersyukur.
Frater Sesco segera meminta para seminaris turun untuk membantu mendorong mobil. Ia juga menelpon Erni untuk meminta bantuan. Tak lama, Bang Herman datang membantu, dan bersama-sama kami mendorong mobil hingga keluar dari jebakan.
Dengan penuh rasa lega, kami akhirnya bisa melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur Siduk–Ketapang. Meski rasa takut masih membayangi, di hati kami tersisa rasa syukur yang mendalam — karena Tuhan senantiasa menjaga langkah kami, bahkan di tengah bahaya.
Penutup: Menemukan Tuhan di Setiap Langkah
“Pilgrims of Seminarians” bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah ziarah batin — latihan untuk melangkah dalam iman, kelelahan, dan keheningan. Kami belajar bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk menemukan Tuhan yang berjalan bersama.
Oleh: Frater Fransesco Agnes Ranubaya
Minister Seminari Menengah St. Laurensius Ketapang