Mimpi: Kehendak Siapa?
Dalam tradisi Kitab Suci, mimpi bukan sekadar bunga tidur atau gambaran bawah sadar manusia, tetapi menjadi wahana pewahyuan Allah. Mimpi dipahami sebagai bentuk komunikasi ilahi, sebagai cara Allah menyatakan kehendak-Nya kepada manusia. Dengan demikian, apa yang dalam pengalaman manusia tampak sebagai harapan, cita-cita, kerinduan, atau obsesi batin, dalam terang iman Kitab Suci justru mencerminkan kerinduan Allah sendiri—yakni kehendak-Nya yang hendak diwujudkan dalam sejarah keselamatan.
Manusia dipilih, dipanggil, dan diutus menjadi alat-Nya. Ketika Allah menyapa seorang nabi dengan sebutan “anak manusia”, hal itu bukan sekadar gelar simbolis, melainkan pengingat bahwa manusia adalah ciptaan yang rapuh namun dipercayakan misi ilahi. Mimpi dan penglihatan menjadi jembatan antara dunia manusia yang terbatas dan dunia Allah yang kekal. Oleh karena itu, respons terhadap mimpi ilahi tidak boleh sembarangan. Ada konsekuensi rohani yang besar bila manusia mengabaikan panggilan itu. Maka, seseorang dituntut untuk bijak menyikapi mimpi-mimpi ilahi yang diterimanya dan berani mewujudkannya dalam hidup nyata.
Mimpi sebagai Cita-Cita dan Visi Hidup
Dalam kehidupan sehari-hari, mimpi juga dapat dimaknai sebagai cita-cita atau visi hidup: sebuah kerinduan akan masa depan yang lebih baik, dorongan idealistik yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Mimpi semacam ini adalah gambaran dari hati manusia yang merindukan kebaikan, keadilan, dan kedamaian. Dalam perspektif Kristiani, kerinduan ini dapat dianggap sebagai gema dari suara Allah dalam nurani manusia.
Seorang pemimpin sejati adalah seorang pemimpi. Pemimpin yang tidak memiliki visi, yang tidak memiliki pandangan ke depan, diibaratkan seperti orang buta yang menuntun sesama yang juga buta—keduanya akan terperosok ke dalam lubang. Maka, visi dan penglihatan rohani adalah hal yang mutlak dalam kepemimpinan sejati.
Pemimpin sebagai Pemimpi
Pernyataan bahwa seorang pemimpin adalah juga seorang pemimpi tidak merujuk pada orang yang malas atau suka melamun. Justru sebaliknya, para pemimpin sejati sering kali tidak dapat tidur dengan tenang karena terus memikirkan visi dan cita-cita yang ingin mereka wujudkan. Obsesi atau idealisme yang mereka miliki menyerap seluruh energi, dan menyatu dengan jati diri mereka. Ketika impian tersebut belum tercapai, mereka mengalami kegelisahan, namun justru kegelisahan itu yang mendorong mereka untuk terus bekerja keras.
Dalam terang iman, seorang pemimpin yang demikian sedang menanggapi bisikan Roh Kudus. Ia menanggapi dengan serius tanggung jawab panggilan untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam sejarah.
Setiap Nabi adalah Pemimpi
Dalam Kitab Suci, para nabi adalah pribadi-pribadi yang menerima penglihatan dan mimpi dari Allah. Mereka bukan sekadar visioner, tetapi pewarta kehendak Allah. Abraham, misalnya, menerima penglihatan tentang keturunan dan tanah terjanji (Kej. 15), sebuah mimpi besar tentang masa depan umat yang diberkati. Nabi Yesaya memimpikan suatu masyarakat mesianis, di mana damai dan keadilan meraja—digambarkan secara puitis lewat sosok anak yang bermain di sarang ular tanpa bahaya (Yes. 11:8). Visi ini merujuk pada pemerintahan yang dipimpin oleh pribadi yang dijiwai oleh Roh Allah (Yes. 11:2).
Kitab Daniel mencatat rangkaian penglihatan dari tempat tidur yang menggambarkan masa depan bangsa Israel, baik dalam penderitaan maupun pemulihan. Dalam Perjanjian Baru, para Majus dikisahkan mengikuti bintang yang mereka lihat di Timur (Mat. 2:2), yang bisa dipahami sebagai bentuk bimbingan ilahi. Bahkan, mereka mendapat arahan dalam mimpi untuk tidak kembali kepada Herodes (Mat. 2:12). Yusuf, ayah Yesus secara hukum, pun menerima pewahyuan melalui mimpi. Demikian pula Petrus menerima penglihatan mengenai kain berisi binatang-binatang sebagai tanda pembaruan misi pewartaan kepada bangsa-bangsa lain (Kis. 10:11-17).
Yohanes di Pulau Patmos mendapat penglihatan tentang Yerusalem Baru, kota kudus yang bebas dari penderitaan dan penuh kemuliaan Allah (Why. 21–23). Penglihatan ini menjadi gambaran puncak dari janji keselamatan yang digenapi. Bahkan Yesus sendiri, dalam misi-Nya, menyatakan bahwa Ia telah “melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Luk. 10:18), sebagai bentuk kemenangan spiritual atas kejahatan melalui kuasa yang diberikan-Nya kepada para murid.
Mewujudkan Mimpi Para Nabi
Gambaran-gambaran besar ini bukanlah sekadar narasi masa lalu. Mereka adalah warisan rohani yang harus diteruskan oleh setiap umat percaya. Walaupun seseorang tidak memiliki karisma besar atau kemampuan luar biasa, Roh Kudus tetap dicurahkan atasnya. Setiap orang dipanggil untuk menghidupi dan mewujudkan impian para nabi dalam konteks hidup masa kini: membangun perdamaian, menegakkan keadilan, mencintai sesama, dan menjaga ciptaan.
            
		



















