Saya sudah punya pengalaman tiga kali pulang naik kapal ke Jawa, baik lewat pelabuhan Semarang maupun Kumai. Untuk pertama kali, mabuk dan tidak bisa menikmati perjalanan. Bahkan banyak bekal tidak banyak yang termakan karena selera makan hilang. Namun, puji Tuhan untuk kali berikutnya sudah tidak mabuk lagi karena sudah terbiasa.
Bagi saya sendiri, ketika akan naik kapal itu memang agak berat rasanya karena punya pengalaman mabuk dan pusing. Dalam kondisi begitu sejujurnya sangat menderita dan sengsara karena tidak bisa menikmati perjalanan sepenuhnya. Setelah turun juga masih terasa terombang-ambing bahkan sampai beberapa hari.
Muncul juga pergulatan dalam rupa pertanyaan, “Mengapa sih harus naik kapal?” Apalagi, untuk sekarang ada pilihan lain seperti menggunakan pesawat yang lebih cepat walau harganya agak mahal.
Tapi kembali saya berpikir bahwa Keuskupan Ketapang hanya memfasilitasi menggunakan kapal. Dulu bapa uskup, Mgr. Pius pernah memberikan alasannya. Naik kapal itu bagian dari proses yang diperlukan. Di kapal kita bisa mengamati situasi, bertemu orang dan ngobrol dengan berbagai topik random dll.
Saya tidak terlalu peduli soal itu awalnya, tapi yang saya tangkap adalah bapa uskup ingin bilang kepada kami semua waktu itu, sebaiknya bersyukur. Bersyukur saja tanpa perlu banyak penjelasan dan alasan. Nanti juga ketemu sendiri.
Pesan “Bersyukur” itu pelan-pelan benar saya rasakan. Apalagi, waktu kuliah sudah diberitahu, kata syukur itu berasal dari bahasa Arab “Syakara” bila bermain sedikit dengan kata tersebut, ada sedikit kesimpulan yang bisa diambil. Syukur artinya rasa terima kasih kepada Tuhan dengan apa yang sedikit. Lama-lama itu jadinya benar, karena syukur itu kosa kata iman.
Walaupun apa yang perlu disyukuri itu belum jelas, saya hanya perlu bersyukur dalam hati. Tapi, saya sebenarnya sempat membayangkan panorama Yesus saat naik kapal. Tuhan mengalami naik kapal itu seperti apa. Terlepas Dia tidur karena pusing atau mabuk seperti saya, tidak tahu. Intinya Tuhan pernah naik kapal.
Yesus pernah terombang-ambing di atas kapal, meredakan badai dan gelombang, menasihati para murid tentang ragi Herodes, walau mereka salah paham. Yang terpenting sebenarnya, Di atas kapal, Tuhan tidak diam tapi Dia berbuat sesuatu. Mungkin supaya tidak mabuk.
Singkatnya, pengalaman iman, panorama Yesus, mabuk laut, pemandangan indah sunrise, sunset, berjumpa dan ngobrol dengan orang yang tidak dikenal, bagi saya sendiri itu adalah proses hidup yang patut dimasukkan dalam “Syakara”. Karena pernah mengalami maka saya dapat bercerita dan ceritanya sangat berbeda kalau naik pesawat.
Untuk teman-teman yang masih studi, tidak dibatasi untuk mengajukan juga proposal pulang naik pesawat. Walaupun tidak harus pulang-pergi, tapi bisa divariasi entah pergi naik kapal pulang boleh naik pesawat atau sebaliknya. Alasannya adalah untuk mendapatkan pengalaman bagaimana rasanya naik kapal dan naik pesawat. Ceritanya pasti akan sangat berbeda. Bila tidak dikabulkan juga tidak perlu bersikeras. Intinya tetap ada “Syakara” karena itulah kosa kata iman. Dan memang itu yang penting untuk panggilan bila bicara jauh lagi soal ketaatan.
Penulis: Fr. Memet
            
		


















