Semangat persatuan dan perjuangan itu kini menemukan resonansi dalam konteks yang berbeda, salah satunya di Seminari Menengah. Di Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat, berdiri dengan teguh Seminari Menengah Santo Laurensius Ketapang, sebuah lembaga pendidikan dan pembinaan calon imam masa depan. Seminari ini adalah “kawah candradimuka” di mana para pemuda dipersiapkan secara holistik untuk menggembalakan umat. Saat ini, di tahun 2025, Seminari St. Laurensius menampung 26 siswa yang rata-rata merupakan Generasi Z—generasi yang lahir dan tumbuh di tengah gelombang digitalisasi dan perubahan yang cepat. Proses pendampingan mereka dipercayakan kepada empat staf: Rektor, RD. Agustinus Mujianto; Wakil Rektor, RD. Yosef Kaju; Prefek Spiritual, RD. Gabriel Bala; dan Minister, Frater Fransesco Agnes Ranubaya. Mereka berempat adalah nahkoda yang memandu para seminaris muda mengarungi samudra panggilan.
Pola pembinaan di seminari menengah berfokus pada empat pilar utama yang sering disingkat menjadi 4 S: Sanctitas (Kerohanian), Scientia (Pengetahuan), Sanitas (Kesehatan), dan Societas (Kebersamaan). Sanctitas menggarisbawahi pentingnya relasi mendalam dengan Tuhan melalui doa, meditasi, dan sakramen—ini adalah jiwa dari panggilan, sumber kekuatan rohani yang tak pernah habis. Scientia menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, baik formal di sekolah maupun pengetahuan rohani, untuk membentuk pribadi yang cerdas dan kritis. Sanitas atau kesehatan, baik fisik maupun mental, menjadi prasyarat penting agar calon imam dapat melayani dengan prima. Terakhir, Societas merangkum nilai kebersamaan, persaudaraan, dan kemampuan hidup bermasyarakat dalam ikatan komunitas.
Jika ditarik benang merahnya dengan Sumpah Pemuda, keempat aspek ini adalah ikrar kesetiaan ala seminaris. Sanctitas adalah pengakuan dan kesetiaan pada satu Tuhan dan satu panggilan. Scientia dan Sanitas adalah kesetiaan dalam mengembangkan diri dan potensi demi tugas pelayanan di masa depan. Sementara Societas adalah ikrar kesetiaan pada komunitas, peraturan, dan janji hidup bersama yang dihayati, mencerminkan semangat persatuan yang sama dengan ikrar satu bangsa dan satu tanah air. Kesetiaan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab serta aturan seminari, sekecil apa pun, merupakan bentuk nyata dari perjuangan untuk mewujudkan janji panggilan yang mulia.
Namun, menjadi seminaris Generasi Z (Gen Z) bukanlah tanpa tantangan. Mereka hidup di dua dunia yang menuntut: dunia sekolah dengan tuntutan akademik, pergaulan yang terbuka, dan kurikulum yang padat; dan dunia seminaris dengan disiplin ketat, jadwal terstruktur, dan tuntutan spiritual yang mendalam. Peluangnya, mereka memiliki akses tak terbatas pada informasi dan teknologi yang dapat memperkaya wawasan dan membantu pelayanan, tetapi tantangannya adalah bagaimana menyaring dan memilah informasi tersebut.
Lalu, apa yang harus dilakukan seminaris Gen Z agar tetap bertahan dalam perjuangan panggilan? Kunci utamanya adalah otentisitas dan refleksi mendalam. Mereka harus bangga menjadi seminaris karena di sinilah mereka dibentuk menjadi pribadi yang utuh, yang mampu menawarkan jawaban bermakna di tengah kebingungan dunia. Perjuangan mengatasi kekeringan (desolasi) dalam panggilan—perasaan hampa atau jenuh—dapat diatasi dengan disiplin spiritual yang konsisten dan berbagi pengalaman dengan pembina. Desolasi adalah bagian dari proses pemurnian, yang meminta seminaris untuk tidak menyerah pada kenyamanan semu.
Perjuangan Sumpah Pemuda di masa kini, terutama bagi kaum muda seperti seminaris, adalah perjuangan untuk menjadi teladan di tengah masyarakat. Perikop dalam 1 Timotius 4:12 menyerukan: “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” Ayat ini sangat relevan. Seminaris, sebagai bagian dari Orang Muda Katolik, dipanggil untuk tidak minder karena usia muda, melainkan justru menjadi mercusuar moral.
Peran seminaris di masa kini adalah menjadi ‘garam’ dan ‘terang’ di tengah lautan absurditas informasi, hoax, dan tren-tren yang bertentangan dengan nilai Kristiani seperti hedonisme dan konsumerisme. Mereka harus menggunakan scientia-nya untuk memilah kebenaran dari kebohongan dan sanctitas-nya untuk melawan godaan hedonisme (pencarian kesenangan semata) dan konsumerisme (gaya hidup materialistis). Ikrar Sumpah Pemuda, yakni persatuan, dihayati dalam kesetiaan pada nilai-nilai Kristiani yang menyatukan hati, dan pada tujuan panggilan luhur yang membebaskan, bukan memperbudak pada trend sesaat. Perjuangan ini adalah ‘Sumpah Pemuda’ mereka yang sesungguhnya: berjuang untuk satu tujuan Ilahi di tengah dunia yang terpecah-belah.
Pada akhirnya, tulisan ini membawa kita pada refleksi bahwa Seminari bukanlah menara gading yang terpisah dari realitas, melainkan bengkel pembentukan hati manusia. Sumpah Pemuda dan panggilan menjadi imam sama-sama berbicara tentang janji suci dan perjuangan persatuan. Para pemuda di tahun 1928 berjanji untuk satu Tanah Air, mengabaikan ego kesukuan demi keutuhan bangsa. Para seminaris Gen Z, pun demikian, berjanji untuk satu panggilan, mengabaikan godaan duniawi demi keutuhan jiwa dan pelayanan pada umat. Kedua janji ini sama-sama menuntut pengorbanan, disiplin, dan, yang terpenting, cinta. Cinta pada tanah air, dan cinta pada Tuhan serta sesama. Maka, Sumpah Pemuda ala Seminaris adalah ikrar yang terukir bukan di atas kertas, tetapi di dalam hati yang siap dibentuk, dilayani, dan diutus, menjadi tiang pancang yang kokoh, tempat setiap jiwa yang mencari kebenaran dapat menemukan tempat berlindung. Perjuangan itu memang berat, namun ia adalah jalan mulia menuju kematangan sejati, memancarkan teladan di tengah kegelapan zaman.


















