Menapaki Perjalanan sebagai Ziarah Iman
Setiap perjalanan pulang adalah semacam ziarah, bukan sekadar pergerakan geografis dari satu tempat ke tempat lain. Ia menyimpan makna yang dalam tentang kembali ke asal, kembali kepada identitas, dan juga kepada tugas perutusan. Para Frater Keuskupan Ketapang yang menyelesaikan studi mereka di Jawa dan kemudian kembali ke Ketapang melalui perjalanan laut, secara tak langsung sedang memasuki sebuah proses formasi rohani yang tidak tercantum dalam kurikulum kampus, namun melekat dalam pengalaman nyata kehidupan.
Perjalanan menggunakan kapal—meski melelahkan, penuh risiko mabuk laut, dan menuntut kesiapan fisik serta mental—bukan sekadar soal transportasi murah. Ia menjadi simbol perjalanan kehidupan itu sendiri: berombak, terombang-ambing, namun menuju satu tujuan pasti. Dalam konteks ini, naik kapal adalah latihan keheningan, keterbatasan, sekaligus keterbukaan terhadap perjumpaan. Seperti Yesus yang pernah berada di perahu bersama para murid, pengalaman berada di atas kapal mengajarkan iman yang bukan diukur dari kenyamanan, melainkan dari keterlibatan dan kepercayaan.
Mabuk, Gelombang, dan Keheningan
Dalam testimoni Fr. Memet dan Fr. Zandro, mabuk laut menjadi titik refleksi yang sangat manusiawi. Perut mual, kepala pusing, dan tubuh yang lelah mencerminkan keterbatasan fisik yang tidak bisa ditutupi. Di tengah perjalanan iman pun, pengalaman “mabuk” adalah hal yang tak terhindarkan. Ada masa-masa guncangan, rasa tak nyaman, bahkan keraguan. Namun di situlah iman diuji dan didewasakan.
Ketika seseorang berada dalam kondisi tidak nyaman, insting pertamanya adalah menghindar. Maka wajar jika muncul pertanyaan: “Mengapa harus naik kapal?” Namun justru dari ruang ketidaknyamanan itu, ada benih-benih spiritualitas yang tumbuh. Seperti yang dikatakan oleh Fr. Memet, pesan Uskup Mgr. Pius bahwa perjalanan kapal adalah bagian dari proses formasi menjadi sangat masuk akal. Tidak semua pelajaran iman diberikan dalam ruang kelas. Sebagian besar justru lahir dari pengalaman konkret yang keras namun jujur.
Perjumpaan yang Menghidupkan
Di atas kapal, ruang tertutup, waktu panjang, dan keterbatasan fasilitas menciptakan satu hal yang sangat jarang ditemukan dalam dunia yang serba cepat ini: ruang untuk perjumpaan. Perjumpaan yang tidak direncanakan, tidak dibuat-buat, dan tidak dimediasi oleh algoritma. Di sanalah para Frater bisa berbicara dengan orang-orang yang juga sedang “pulang”—baik secara harfiah maupun simbolik.
Fr. Zandro menceritakan bagaimana ia bertemu dengan keluarga yang sedang dalam perjalanan untuk menjenguk keluarga lain di Ketapang. Dalam perjumpaan itu terjadi dialog, pembagian cerita, bahkan nasihat hidup. Bukan kebetulan jika orang tua dalam keluarga itu memberikan pesan tentang pentingnya memanfaatkan masa muda untuk mengasah kemampuan. Tuhan hadir dalam percakapan itu. Ia menyampaikan pesan-Nya melalui bibir manusia biasa, dalam suasana yang sederhana namun mengena.
Demikian pula Romo Simon, dalam percakapan di atas meja makan Catholic Center mengenang salah satu perjalanan kapalnya sebagai momen yang kaya akan interaksi dan kehangatan. Di tengah suara-suara muntah yang menggelitik keheningan malam dan suasana sesak yang biasa muncul di ruang-ruang sempit kapal, Romo Simon memutuskan keluar untuk mencari udara segar. Di situlah, justru ia menjumpai orang-orang.
Dengan pendekatan yang sederhana namun bermakna, Romo Simon mengajak mereka bermain kartu—bukan untuk berjudi, tentu, tapi sebagai alat pencair suasana. Permainan itu menjadi pintu masuk bagi percakapan yang lebih dalam. Ada yang mulai bertanya, “Maaf, Mas kerjanya apa?” dan jawaban tulus keluar: “Saya Frater, calon Pastor Katolik.” Sejak saat itu, suasana berubah menjadi lebih cair, penuh canda, dan menyentuh hati. Diskusi ringan tentang iman meskipun tidak seagama, kehidupan, dan harapan mengalir begitu saja di tengah permainan sederhana. Dari situ, Romo Simon tidak hanya menemukan teman baru, tetapi juga mengumpulkan pengalaman-pengalaman yang tidak tertulis di buku-buku teologi.
Pengalaman beliau membuktikan bahwa perjumpaan tidak selalu terjadi dalam liturgi, ruang retret, atau ruang kelas. Kadang, ia terjadi di geladak kapal, di tengah permainan kartu, di sela deru mesin, dan dalam tawa bersama. Perjumpaan yang tulus, hangat, dan memperkaya.
Kapal sebagai Metafora Tubuh Gereja
Gambaran kapal sangat kaya dalam tradisi teologis Gereja. Dalam banyak literatur spiritual, Gereja digambarkan seperti perahu Petrus yang mengarungi samudra dunia. Di dalamnya, para murid—dalam hal ini para Frater—dipanggil untuk tetap setia mendayung meski ombak datang silih berganti. Gereja bukan tempat yang steril dari badai. Justru dalam badai itu kesetiaan, keberanian, dan belarasa diuji.
Ketika berada dalam kapal, kita semua berada dalam satu wadah yang sama, tidak ada sekat sosial yang terlalu besar. Baik Frater, karyawan, anak-anak, orang tua, semua sama-sama berjuang agar tidak mabuk, agar bisa tidur nyenyak, agar tetap sehat. Di sinilah terjadi solidaritas yang otentik. Seorang Frater yang mendalami teologi dan filsafat menjadi satu dengan umat biasa yang membawa oleh-oleh untuk keluarganya.
Sikap belarasa menjadi sangat konkret: membantu membawakan barang, meminjamkan minyak angin untuk yang mabuk, atau sekadar mendengarkan cerita hidup orang lain. Inilah spiritualitas “berbagi perahu”—yang mengandaikan bahwa penderitaan bukan beban pribadi, tapi kesempatan untuk menyapa yang lain. Kapal menjadi ruang pastoral yang bergerak, di mana pelayanan dan kesaksian dilakukan dalam bentuk yang sangat manusiawi.
Syukur sebagai Kosa Kata Iman
Fr. Memet mengangkat kata “syukur” dari akar katanya “syakara”—sebuah perspektif yang menyentuh. Ia menunjukkan bahwa rasa syukur bukan hanya tentang menerima yang menyenangkan, tapi juga tentang belajar mencintai yang tidak ideal. Mabuk laut, perjalanan panjang, bahkan pertanyaan mengapa tidak naik pesawat, semua itu dipeluk dalam satu sikap batin: bersyukur.
Syukur bukanlah hasil dari segala hal yang sesuai harapan. Syukur adalah keputusan iman yang dilatih dalam keterbatasan. Dalam konteks ini, syukur menjadi ekspresi ketaatan yang bukan pasif, tapi kreatif. Ketika para Frater menerima bahwa mereka harus naik kapal bukan karena pilihan tapi karena kebijakan, mereka sedang membiarkan diri dibentuk oleh proses. Justru dalam “keterpaksaan” itu, mereka bertumbuh dalam iman yang lebih mendalam.
Yesus pun, seperti yang dibayangkan Fr. Memet, pernah naik kapal. Ia tidak menghindari gelombang, bahkan tertidur di tengah badai. Namun kehadiran-Nya membawa ketenangan bagi yang lain. Para Frater yang pulang dengan kapal diajak meneladani Kristus dalam kapal: bukan sebagai yang mabuk semata, tapi sebagai yang tetap hadir, tetap peduli, tetap melayani.
Dari Mabuk Menjadi Mistik
Jika pengalaman naik kapal dibingkai secara reflektif, maka mabuk laut pun bisa menjadi bagian dari mistik kristiani. Ia menjadi simbol dari “kenosis”—pengosongan diri. Dalam ketidakberdayaan karena mabuk, seorang Frater belajar rendah hati, belajar menerima, belajar bergantung. Di situlah Tuhan bekerja, dalam tubuh yang lemah namun hati yang terbuka.
Setelah badai berlalu, setelah kapal merapat di pelabuhan Ketapang, semua rasa lelah itu berubah menjadi sukacita. Ada rasa pulang yang tidak hanya secara fisik, tetapi juga batin. Seperti kisah para murid di Emaus yang hatinya berkobar setelah menyadari kehadiran Kristus, demikian juga para Frater yang turun dari kapal membawa kisahnya masing-masing. Cerita mereka tidak bisa disamakan dengan yang naik pesawat. Justru dalam keterbatasan kapal, mereka belajar tentang kelimpahan makna.
Kapal, Panggilan, dan Masa Depan
Dalam refleksi terakhir, perjalanan kapal ini bisa dibaca sebagai latihan panjang menuju ketaatan dalam panggilan. Panggilan imamat bukan soal kenyamanan, tapi kesiapan untuk menghadapi badai dan tetap berjalan. Naik kapal adalah latihan konkret untuk hidup bersama umat dalam segala keterbatasan dan kelebihan mereka.
Bagi para adik tingkat, pesan Fr. Zandro sangat jelas: siapkan fisik dan mentalmu, karena lautan menantimu. Ini bukan ancaman, tapi ajakan untuk membuka diri terhadap formasi yang lebih luas. Pengalaman hidup yang mendalam bukan hanya dari bangku kuliah, tapi dari dek kapal, dari ombak yang menggoyang, dari percakapan random dengan orang asing, dari rasa lelah yang dibungkus dalam syukur.
“Syakara” dalam Gelombang
Perjalanan pulang para Frater Keuskupan Ketapang dari Jawa menggunakan kapal bukan sekadar narasi logistik, tapi sebuah kisah iman, kisah belarasa, dan kisah syukur. Di kapal, mereka tidak hanya bergerak menuju rumah, tapi juga menuju kedewasaan rohani. Di sana mereka belajar tentang tubuh yang terbatas, tentang hati yang terbuka, dan tentang Tuhan yang hadir dalam kebersamaan yang sederhana.
Kapal menjadi tempat di mana kata “syakara” hidup. Sebuah kosa kata iman yang diajarkan bukan lewat ceramah, tapi lewat gelombang, mabuk laut, permainan kartu, dan tawa bersama orang-orang yang dijumpai. Dan di sanalah, iman mereka menjadi lebih manusiawi, lebih penuh rasa, dan lebih siap untuk mengarungi samudra hidup dalam pelayanan dan panggilan.
Lanjutan: Syakara – Refleksi Fr. Memet Selama Perjalanan di Kapal
Narasumber: Fr. Memet, Fr. Zandro, RD. Simon Anjar Yogatama
Dokumentasi: Fr. Fransesco, Fr. Koban
            
		


























Proficiat atas perjuangannya dg sesama dan Allah dlm perjalanan panggilannya. Berkat kasih-Nya berlimpah. Tetap semangat dan terus maju dlm mencapai cita-citanya.