Bapa Uskup sedang Memandang Mendiang Romo Harimurti

Ketapang, 14 September 2025. Suasana duka menyelimuti umat Katolik Keuskupan Ketapang. Pada Sabtu malam, 13 September 2025 pukul 22.00 WIB, Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi memimpin ibadat tirakat di Wisma Keuskupan Ketapang sebagai bagian dari rangkaian penghormatan terakhir untuk mendiang RD. Petrus Canisius Dremono Harimurti—imam yang dikenal rendah hati, penuh pengabdian, dan begitu dekat dengan umat.

Ibadat tirakat dihadiri para imam, bruder, suster, serta umat dari berbagai paroki, khususnya Paroki Santa Gema Galgani Ketapang dan Paroki Santo Agustinus Paya Kumang. Doa-doa dipanjatkan dengan khidmat, mempersatukan umat dalam duka dan harapan akan kebangkitan dalam Kristus.


Kabar Duka yang Mengejutkan

RD. Petrus Canisius Dremono Harimurti—akrab disapa Romo Hari—dipanggil Tuhan pada Sabtu, 13 September 2025 pukul 12.20 WIB di Puskesmas Nanga Tayap. Ia wafat tak lama setelah memimpin misa bersama anak-anak sekolah dasar.

Menurut kesaksian umat, sebelum meninggal Romo Hari dijadwalkan menghadiri acara santap siang. Namun ia memilih merayakan Ekaristi bersama anak-anak. Pilihan sederhana itu menjadi tanda kesetiaan pelayanannya hingga akhir hayat.

“Karena rahmat Tuhan tidak bisa diduga. Romo Hari saat ini sedang berjalan menuju Injil itu sendiri,” ungkap Mgr. Pius dalam homilinya.


Jejak Hidup: Dari Muntilan ke Ketapang

Romo Hari lahir pada 27 Desember 1948 di Muntilan, di lereng Gunung Merapi. Ia anak sulung dari tujuh bersaudara pasangan Paulus Mesi Karsopawiro dan Maria Tijem. Masa kecilnya di Dusun Tangkil yang sederhana membentuk pribadi tangguh dan rendah hati.

Pendidikan dasarnya ditempuh di SR Tangkil (1956–1962), dilanjutkan di SMP Muntilan (1963–1966) dan SPG Setiabudi Muntilan (1967–1969). Sejak remaja, ia membiayai sekolahnya sendiri dengan bekerja keras: memikul kayu bakar, menjadi kuli angkut, hingga pekerjaan sederhana lain. Kemandirian itu membentuk ketekunan yang kelak menopang panggilan imamatnya.

Minat pada iman Katolik mulai tumbuh sejak kelas enam SD, meski sempat ditentang sang ayah. Setahun kemudian, dukungan penuh keluarga menghantarkannya pada baptisan saat Natal 1964. Setelah lulus SPG, ia sempat gagal masuk Seminari Mertoyudan, lalu mengajar di SD Kanisius Muntilan. Tahun 1973, ia merantau ke Ketapang dan semakin merasakan panggilan imamat. Atas restu Uskup Ketapang Mgr. G. Sillekens, ia melanjutkan studi filsafat dan teologi di STFT Suryagung Bumi, Bandung.

Ditahbiskan diakon pada 10 Mei 1980, lalu imam pada 17 Oktober 1981 di Gereja Katedral Santa Gemma, Ketapang, Romo Hari mengangkat moto tahbisan dari Yohanes 15:1-8: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya.”


Imam Rendah Hati, Pelayan Injil

Sepanjang 44 tahun imamatnya, Romo Hari dikenal sebagai imam yang rendah hati, gigih, dan dekat dengan umat. Pelayanannya tidak pernah lepas dari kesetiaan pada Injil.

Pada Juni 2025, ia bahkan masih sempat menyunting ulang dua karyanya: Dayak Mencari Sabayan Tujuh Saruga Dalam dan Pastoral Inovatif—yang diterbitkan oleh Sandu Institut milik Bung Edi Petebang.

Komunikasi terakhir dengan sahabat-sahabatnya terjadi pada 17 Juli 2025. Tak ada yang menyangka, dua bulan kemudian ia berpulang dalam damai di Kampung Selupuk.

“Selamat jalan Romo Hari, beristirahatlah dalam damai di Rumah Bapa,” tulis Amon Stefanus, sahabat sekaligus editor karyanya.


Homili Uskup Pius: Imam yang Hidup untuk Injil

Dalam homilinya pada ibadat tirakat, Uskup Pius menggambarkan Romo Hari sebagai gembala yang sungguh mencintai umatnya:

“Saudari-saudara terkasih, Romo Hari adalah imam yang dekat dengan umatnya. Beliau suka mengabarkan Injil, dan kini, karena kasih Tuhan yang tak terduga, beliau berjalan menuju Injil itu sendiri. Meski duka menyelimuti kita, kita percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan tempat yang layak baginya.”

Mgr. Pius menegaskan bahwa doa umat tetaplah penting, sebab hidup dan mati seorang beriman selalu berada dalam genggaman Tuhan.


Rangkaian Penghormatan

Keuskupan Ketapang menyusun jadwal penghormatan dan pemakaman:

  • Sabtu, 13 September 2025
    18.00 – Perawatan jenazah di RS Fatima Ketapang
    22.00 – Ibadat Tirakat di Wisma Keuskupan Ketapang
  • Minggu, 14 September 2025
    10.00 – Ibadat Sabda Tirakat
    19.00 – Perayaan Ekaristi di Wisma Keuskupan
  • Senin, 15 September 2025
    09.00 – Misa Requiem di Gereja Katedral Santa Gemma Galgani Ketapang
    11.00 – Pelepasan Jenazah dari Katedral
    12.00 – Pemakaman di Pemakaman Katolik Paya Kumang

Firman penghiburan dari Roma 14:7 menjadi pegangan: “Jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”


Kesaksian Pelayanan Terakhir

Kesan mendalam tertinggal dari pelayanan terakhir Romo Hari. Alih-alih beristirahat, ia memilih merayakan misa bersama anak-anak SD di Nanga Tayap.

“Romo Hari tetap mengutamakan misa meski seharusnya beliau bisa beristirahat. Siapa sangka itu menjadi misa terakhirnya di dunia. Anak-anak yang hadir menjadi saksi bagaimana seorang imam memberikan seluruh hidupnya bagi Tuhan sampai akhir,” tutur Antonius, seorang guru setempat dengan mata berkaca-kaca.


Imam yang Kembali kepada Tuhan

Bagi keluarga dan umat, kepergian Romo Hari adalah kehilangan besar. Namun warisan imannya tetap hidup: kesederhanaan, pengabdian, dan kasih kepada umat.

“Requiescat in pace, Romo Hari. Semoga engkau beristirahat dalam damai Kristus, dan kami yang masih berziarah di dunia tetap setia mengikuti teladanmu,” ungkap seorang bruder muda dalam doa pribadi.

Sebagaimana ditekankan Uskup Pius:

“Mari kita melanjutkan doa-doa kita. Romo Hari kini telah kembali kepada Tuhan yang dipanggilnya seumur hidup. Semoga kita pun setia mengikuti jalan Injil sebagaimana ia telah menghidupinya.”

Dengan penuh haru, umat Katolik Keuskupan Ketapang menyerahkan jiwa sang imam kepada belas kasih Tuhan.

✍️ Ditulis oleh: Tim Redaksi Komsos Paroki Santo Agustinus Paya Kumang

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini