Mgr. Yohanes Harun Yuwono, Uskup Agung Palembang, yang memberikan materi rekoleksi di Rumah Adat Payak Kumang Catholic Center, Keuskupan Ketapang.

Dalam pengalaman manusiawi sehari-hari, mimpi kerap dianggap sebagai kembang tidur—sebuah pengalaman bawah sadar yang muncul saat seseorang sedang tertidur. Banyak ahli psikologi maupun filsafat memandang bahwa segala makhluk hidup atau objek yang muncul dalam mimpi bukanlah sesuatu yang terpisah dari diri, melainkan personifikasi dari diri sendiri: mencerminkan harapan, ketakutan, cita-cita, idealisme, bahkan pergulatan batin yang belum terselesaikan. Setiap tindakan yang dilakukan dalam mimpi seringkali diinterpretasikan sebagai ekspresi keinginan atau penolakan terdalam seseorang dalam usahanya menjadi dirinya yang sejati—diri yang ideal, yang diinginkan.

Namun demikian, dalam terang Kitab Suci, mimpi tidak semata-mata dipahami sebagai hasil aktivitas psikologis semata. Dalam banyak kisah biblis, mimpi dan penglihatan justru menjadi sarana Allah menyampaikan kehendak-Nya, bahkan memanggil dan mengutus seseorang untuk sebuah misi tertentu. Maka pertanyaannya muncul: apakah mimpi dalam Kitab Suci hanya bermakna sebagai refleksi batin manusia, atau lebih dari itu, sebagai wahyu ilahi?

Untuk memahami hal ini lebih dalam, umat diajak untuk merenungkan pengalaman rohani Nabi Yehezkiel—seorang imam muda keturunan Busi (Yeh. 1:3)—yang menerima panggilannya melalui suatu penglihatan yang penuh simbol dan kekuatan spiritual. Di tanah pembuangan Babel, Nabi Yehezkiel mendapat suatu penampakan yang menggetarkan jiwa. Dalam penglihatannya, ia melihat badai besar datang dari arah utara, disertai segumpalan awan yang sangat besar dan diliputi api yang menyala-nyala. Di dalam awan tersebut tampak empat makhluk hidup yang aneh: tubuh mereka menyerupai manusia, namun memiliki empat wajah dan sayap, serta bergerak tanpa berbalik arah. Makhluk-makhluk ini melayang dengan suara gemuruh, mengesankan kehadiran kemuliaan dan kekuatan ilahi yang dahsyat (Yeh. 1:4–14).

Penampakan itu bukanlah sekadar pengalaman spiritual yang mengesankan, melainkan menjadi bagian dari panggilan profetis Yehezkiel. Ia dipanggil di tanah asing, dalam situasi keterasingan dan penderitaan bangsanya. Sebagai imam Bait Allah di Yerusalem, awalnya ia kemungkinan memiliki pandangan yang bertentangan dengan nabi Yeremia, terutama karena latar belakangnya yang terikat pada keberlangsungan ibadat di Bait Allah (bdk. Yeh. 2:8). Namun, setelah pembuangan besar ke Babel sebagai akibat nubuat “kutuk” Yeremia atas Israel (lih. 2 Raj. 24:10–16), Yehezkiel akhirnya mengalami sendiri kehancuran yang dinubuatkan.

Di tanah asing itulah, Yehezkiel menerima panggilannya bukan lagi sebagai imam kultis, melainkan sebagai nabi—penjaga moral dan spiritual bangsa Israel yang keras kepala dan memberontak. Dalam Yeh. 2 dan 3, Tuhan sendiri yang menetapkannya untuk menyampaikan peringatan kepada umat-Nya. Ia tidak hanya dituntut untuk menyampaikan sabda, melainkan juga memikul tanggung jawab pribadi atas keselamatan umat: jika ia tidak memperingatkan orang berdosa, maka darah orang itu akan dituntut darinya (Yeh. 3:16–21). Panggilannya bukan hanya tugas mulia, tetapi juga beban profetis yang penuh risiko, bahkan menuntut pertanggungjawaban atas nyawa.

Lanjutan: Rekoleksi Para Imam, Frater, Bruder, Suster Se-Keuskupan Ketapang: Sesi 3 – Menafsirkan Pesan Tuhan dalam Mimpi dan Penglihatan (Bag. 3)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini