WISMA KEUSKUPAN KETAPANG – Pada hari Sabtu, 14 Oktober 2023 lalu, Keuskupan Ketapang mengadakan sebuah acara ramah-tamah yang melibatkan para tokoh agama dan masyarakat di Ketapang. Acara ramah-tamah ini bertajuk Coffee Morning yang diadakan “Dalam Rangka 11 tahun Tahbisan Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi Sebagai Uskup Keuskupan Ketapang”. Ramah-tamah kali ini secara khusus dilaksanakan untuk melakukan “Sosialisasi Peran Tokoh Agama dalam Menghadapi Bahaya Narkoba” yang diberikan oleh Brigjen Pol. Drs. Sumirat Dwiyanto, M.Si selaku kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Kalimantan Barat.
MENYOAL NARKOBA DI TANAH KAYONG
Sosialisasi mengenai “Peran Tokoh Agama dalam Menghadapi Bahaya Narkoba” yang diberikan oleh Brigjen Pol. Drs. Sumirat Dwiyanto, M.Si pertama-tama menggunakan pendekatan yang kontekstual dengan melihat situasi di Indonesia, Kalimantan Barat, bahkan di Ketapang. Kedua, beliau memberikan contoh-contoh baik barang maupun kandungan yang ada dalam golongan narkoba ataupun memiliki sifat adiktif. Setelah menjabarkan mengenai konteks dan jenisnya, Bp. Sumirat Dwiyanto memberikan penjelasan mengenai peran yang bisa dilakukan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Ketapang.
Setelah memperlihatkan bahwa narkoba yang terdiri dari narkotika dan obat-obatan memiliki dua sisi seperti mata uang. Jika digunakan dalam dosis yang dianjurkan ataupun sesuai dengan kegunaannya, narkotika, obat-obatan, maupun zat-zat yang dapat bersifat adiktif pada dasarnya bisa memberikan dampak yang positif. Salah satu contoh penggunaannya dalam bidang kedokteran adalah sebagai anastesi.
Akan tetapi, secara negatif, jika digunakan secara berlebihan, efek yang diakibatkan bisa sangat mengerikan. Orang yang sudah mengalami kecanduan baik itu narkotika, obat-obatan, ataupun zat-zat adiktif lainnya dalam dosis yang tinggi akan mengalami kerusakan otak, penurunan kemampuan fisik, maupun kerusakan fisik (pada tangan, gigi, dlsb).
Mengutip dari World Drug Report, Bp. Sumirat Dwiyanto menyatakan bahwa pecandu narkoba di Indonesia terhitung sebanyak 3,66 juta jiwa pada 2021. Sementara itu, mengutip dari Survei BNN-LIPI, di Kalimantan Barat sendiri sudah ada 33.552 jiwa yang pernah maupun sudah ada pada tingkat kecanduan narkoba. Jumlah tersebut mencakup 230 kawasan. Hal yang cukup mengejutkan adalah Desa Sukaharja, Kecamatan Delta Pawan, Kabupaten Ketapang sudah berada dalam status bahaya penyebaran dan penggunaan narkoba. Sementara itu, Desa Sandai, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang sudah berada dalam status waspada.
Jenis-jenis narkoba yang dikonsumsi dan cara mengkonsumsinya pun bisa berbeda-beda. Mulai dari Ganja, Shabu, Ekstasi, bahkan sampai jamur di kotoran sapi (psyclocibin) dan zat-zat tertentu yang sengaja dihisap sampai mabuk (lem aibon, bensin, spidol, dlsb) sudah banyak tersebar dan digunakan. Ada yang caranya dihisap seperti merokok, dihisap biasa, dimasukkan ke dalam cairan (liquid) dari rokok elektrik (vape), dimasukkan melalui jarum suntik atau sayatan luka, bahkan dicampur dalam sebuah masakan.
Semua ini pada tempat pertama (dan dirasa sangat memprihatinkan) menyerang “generasi emas” yang merupakan generasi penerus bangsa. Pintu gerbangnya pun mudah sekali dibuka, yaitu melalui rokok. Bp. Sumirat Dwiyanto mengatakan bahwa selama ini ada banyak persepsi yang salah mengenai proses jual-beli rokok. Orangtua menyuruh anak membeli rokok dan pedagang yang memperbolehkan rokok jualannya dibeli anak-anak pada dasarnya menggambarkan ketidakpahaman terhadap keterangan di dalam bungkusnya. Rokok hanya boleh diperjual-belikan kepada orang remaja diatas 18 tahun. Maka, idealnya tidaklah mungkin menyuruh anak membeli rokok karena pedagang tidak akan (bahkan tidak boleh) memberikannya kepada anak tersebut.
Maka, pada bagian terakhir, Bp. Sumirat Dwiyanto menekankan pentingnya keberadaan para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melakukan pencegahan. Hal ini terutama harus menjadi perhatian dari para Tokoh Masyarakat karena kebanyakan para pengedar narkoba bukanlah warga atau penduduk asli daerah tersebut. Maka, tokoh masyarakat merupakan “penjaga gerbang utama” agar narkoba tidak memasuki daerahnya. Selain itu, Tokoh Agama juga memainkan peranan penting untuk melakukan pencegahan terutama lewat kotbah, dakwah, renungan, dlsb. yang dapat berfungsi sebagai ruang edukasi juga.
“AWAL DAN AKHIR, ALPHA DAN OMEGA”
Ketika membaca maupun mendengarkan rangkaian materi yang diberikan oleh Brigjen Pol. Drs. Sumirat Dwiyanto, M.Si, maka hal-hal yang biasanya muncul dalam diri pembaca maupun peserta adalah “sudah cukuplah mendengarkan dan memperhatikan materi ini.” atau kalimat yang kurang-lebih senada dengan itu.
Padahal, materi yang disampaikan oleh Bp. Sumirat Dwiyanto ada dalam suatu konteks, yaitu “di Ketapang” dan “di antara para tokoh agama dan tokoh masyarakat”. Maka, hal lain yang sesungguhnya perlu diperhatikan adalah isi dari sambutan-sambutan maupun tanggapan-tanggapan yang muncul dari peserta yang hadir. Ketika melihat sambutan atau pengantar maupun tanggapan atau diskusi, akan muncul segudang harapan, himbauan, tinjauan kritis, maupun saran yang punya fungsi sebagai “perpanjangan tangan” dari materi yang dipaparkan.
Akan tetapi, kedua hal ini seringkali tidak begitu “digubris” karena sifatnya yang dirasa sebagai “hanya tambahan” untuk menghidupkan suasana. Hanya materi saja yang dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting.
Dari ke-60 peserta yang hadir dalam acara ramah-tamah ini,
Mgr. Pius Riana Prapdi, Bp. Hieronimus Tanam, dan Bp. Alexander Wilyo mendapat kesempatan untuk memberikan kata-kata sambutan sebelum Bp. Sumirat Dwiyanto menyampaikan materi yang telah disiapkannya. Setidaknya, terdapat tiga pokok yang perlu diperhatikan dari sambutan-sambutan mereka. Pertama, harapan agar semua yang didiskusikan dan dipaparkan pada acara ini tidak berakhir sebagai wacana yang hebat tanpa implementasi yang berdampak. Kedua, harapan agar semua orang yang hadir sebagai peserta memiliki kehendak bersama untuk menyikapi narkoba yang merupakan “krisis masyarakat”. Ketiga, harapan agar “bahagia karena menjadi pendengar dan pelaksana Sabda Tuhan” yang berfokus pada harapan untuk mengangkat martabat manusia lainnya.
Sementara itu, dalam diskusi pasca pemaparan dari Bp. Sumirat Dwiyanto, ada tiga pokok besar yang cukup menonjol. Pertama, kasus narkoba pada dasarnya tidak hanya terjadi di dua tempat saja, melainkan ada di cukup banyak tempat di Ketapang. Kedua, semua persoalan dan tetek-bengek perihal narkoba tidak bisa diatasi satu pihak atau kelompok saja, tetapi butuh keterlibatan semua golongan dan lapisan dalam masyarakat. Ketiga, narkoba adalah “penjajah tanpa wajah” yang lebih mengerikan daripada penjajahan bangsa asing.
MENJADI PEMBAWA TERANG
Sebuah pepatah bijak mengatakan, “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan”. Pepatah ini kiranya dapat juga dibahasakan menjadi, “Lebih baik menjadi pembawa terang daripada mengutuki kegelapan”. Dalam situasi gelapnya dunia (khususnya) karena narkoba, Paus Fransiskus I menyatakan bahwa “kita harus memastikan bahwa lembaga-lembaga kita benar-benar efektif dalam memerangi semua momok itu” (FT art. 188). Inilah undangan yang secara khusus ditujukan kepada seluruh insan, khususnya para pemimpin dan tokoh-tokoh di dalamnya.
Ketika melihat pemaparan Bp. Sumirat Dwiyanto dan disandingkan dengan semua sambutan yang banyak berisi harapan dan tanggapan yang banyak berisi solusi ataupun ajakan, akan terlihat bahwa perjuangan untuk melawan “penjajah tanpa wajah” ini sudah sampai pada tingkat kritis. Sudah mendesak untuk dilakukan!
Maka, hal pertama dan terutama yang bisa dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan tokoh agama bukan hanya menjadi pengamat ataupun bergerak hanya demi kepentingan pribadi-kelompok-golongan, tetapi melakukan tindakan-tindakan nyata. Turun ke bawah untuk melihat realitas, bersedih-meratap-prihatin terhadap realitas, sehingga bisa memberikan solusi-solusi praktis-taktis untuk mewujudkan situasi yang aman.
Kiranya, tidak ada hal lain yang perlu diperdalam dan diperpanjang. Semua lapisan masyarakat harus bergerak! Tidak boleh diam dan mengutuki gelapnya akibat dari narkoba. Semua orang—tanpa terkecuali—harus menjadi pembawa terang yang dapat menghancurkan rantai yang mengekang martabat luhur manusia itu.
Sebuah Reportase Reflektif atas Coffee Morning Memperingati 11 Tahun Tahbisan Uskup Keuskupan Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi.
Fr. Yosephus Bayu Aji Prasetyo, SJ
Bertugas di Catholic Centre, Payakumang