Demokrasi itu ‘lingkungan’ yang hidup, meski bukan lingkungan hidup. Sebuah tatanan kehidupan berbangsa bernegara yang sangat dinamis, namun substansinya jelas. Dalam demokrasi, rakyat menempati posisi yang seharusnya sangat strategis sebagaimana makna dari asal katanya; demos yang berarti rakyat dan cratos bermakna kekuasaan. Jadi demokrasi secara harafiah bisa dimaknai kekuasaan (berada di tangan) rakyat.
Bila melihat makna dalam kamus besat Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi dimaknai sebagai sistem pemerintahan dimana rakyat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan. Selain itu juga dinilai sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama terhadap warga negara. Demikian gambaran makna dari kata demokrasi yang tentu saja baik adanya namun selalu diwarnai dinamika yang kerap jauh dari harapan.
Demokrasi yang sejatinya dari, oleh dan untuk rakyat misalkan, kerap ‘dibajak’ untuk mengakomodir kepentingan pihak yang tadinya justru mendapat kekuasaan dari rakyat. Pada tataran ini, demokrasi berpotensi menampakkan wajahnya yang tidak sumirgah sebagaimana makna dasarnya. Tagar kawal putusan MK dan peringatan darurat menjadi salah satu contoh. Contoh lainnya terkait dengan proses penyusunan UU Cipta Kerja yang dipaksakan.
Sementara lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 ayat 1 UU 32 tahun 2009). Dengan demikian, lingkungan hidup memiliki makna lebih luas yang bukan hanya makhluk hidup semata seperti halnya manusia dan tumbuhan, namun seluruh semua ada dan terkait dengannya. Untuk samapai pada pemaknaan terhadap lingkungan hidup sejatinya sangat luas, rumit dan kompleks.
Konteks dimana lingkungan hidup yang luas, rumit dan kompleks ini, hemat penulis pada akhirnya mempertemukan relevansinya dengan sebuah kata demokrasi. Keduanya saling tertaut dan dapat saling mempengaruhi. Demokrasi yang baik akan memungkinkan perhatian dan upaya perlindungan maupun pengelolaan lingkungan hidup berjalan baik. Sebaliknya, lingkungan hidup yang buruk akan menjadikan ruang demokrasi semakin kian feliks, rumit dan penuh tantangan. Demokrasi berjalan ‘oleng’ akan menyebabkan oleng pulalah upaya-upaya untuk menuju tatakelola lingkungan hidup yang diharapkan. Singkat kata, lingkungan hidup yang buruk mencerminkan perilaku buruk dan rakus dari manusia di dalamnya memperlakukan bumi – rumahnya sendiri.
Demokratisasi Pengelolaan SDA
Demokratisasi memiliki makna pendemokrasian yakni upaya bagaimana demokrasi tersebut dapat mengakar pada berbagai aspek tatanan sistem kehidupan bernegara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Berangkat dari situasi ini, maka kita mesti kembali pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal di atas jelas mengkonfirmasi bahwa negara melalui perwakilan rakyat yang terpilih melalui proses demokrasi dalam pemilu memiliki peran penting untuk memastikan agar sumberdaya alam dan lingkungan hidup di bumi Indonesia dapat dipergunakan untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Proses dalam tatakelola sumberdaya alam penting menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas sumber-sumber kehidupannya, termasuk dalam menentukan apa dan bagaimana semestinya pembangunan atasnama pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dilakukan. Memastikan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan (FPIC) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu sampai pada tataran substantif. Hal ini penting guna meminimalisir potensi dampak negatif yang tidak diharapkan bagi rakyat di akar rumput termasuk dampak bagi lingkungan hidup.
Sayangnya, kekayaan sumberdaya alam selain sebagai penopang pembangunan juga kerap dijadikan komoditas. Paham antroposentris yang menempatkan manusia ‘memiliki kuasa’ atas alam ciptaan seolah melegitimasi praktik ekonomi ekstraktif masif yang selanjutnya justru menjadi ‘kutukan’ bagi warga sekitar. Konflik maupun terganggunya daya dukung dan daya tampung lingkungan pada gilirannya melahirkan daya rusak tidak terelakkan yakni krisis sosial-ekologis yang sulit terpulihkan. Karenanya tidak menempatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai komoditas dan tidak pula menempatkan rakyat sebagai objek semata, menjadi penting untuk memaksimalkan tatakelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang demokratis.
Isu Lingkungan yang Terpinggirkan
Hampir setiap tahapan pemilu isu lingkungan hidup selalu berada pada ruang pinggir. Terpinggirkan!?. Pada pemilu presiden dan wakil presiden yang masa pencoblosannya dilangsungkan 14 Februari 2024 lalu misalnya. Selain kurang dibahas pada masa-masa kampanye dan tidak dimuat dalam peraga kampanye yang dipasang pada kandidat, debat soal isu sumberdaya alam dan lingkungan hidup aja hanya dibahas antar calon wakil presiden. Porsinya bahasan mengenai lingkungan hidup dalam debat publik pun sebetulnya sangatlah terbatas.
Demikian pula dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kalimantan Barat, isu penting ini juga terpinggirkan. Hampir tidak ditemui pernyataan kandidat terkait dengan isu lingkungan hidup di ranah publik melalui alat peraga kampanye maupun pernyataan dari inisiatif langsung untuk disampaikan sebagai konsen serius. Pernyataan terkait isu lingkungan justru muncul manakala ditanyakan oleh warga ketika paslon kandidat mengunjungi suatu daerah untuk silaturahmi dan atau sekedar memperkenalkan diri melalui kampanye. Selain itu gagasan visi-misi dan program paslon hanya disampaikan kala debat publik berlangsung karena secara khusus teragendakan dalam pertanyaan yang disusun panelis.
Pada debat perdana paslon Cagub dan Cawagub Kalbar pekan lalu (23/10/2024), apa yang disampaikan para kandidat hemat penulis masih normatif. Meski memuat isu lingkungan dalam gagasan visi-misinya, namun komitmen untuk memastikan keberpihakan paslon manakala terpilih untuk agenda keselamatan sumberdaya alam, lingkungan hidup dan rakyat sangatlah mendesak. Diharapkan tidak sekedar formalitas semata.
Menegakkan Demokrasi Substantif
Ditengah wajah demokrasi yang kerap dinarasikan sebatas partisipasi rakyat menyalurkan hak suaranya dalam pemilu untuk memilih presiden maupun wakilnya dan atau hanya untuk memilih calon kepala daerah, maka pemaknaan demokrasi seperti ini sebetulnya sangatlah sempit. Bahkan berpotensi ‘menyesatkan’ publik. Demokrasi yang hanya menampilkan sebuah proses dalam perhelatan untuk menentukan pemimpin berdasarkan prosedur yang baku sebagaimana sistem pemerintahan bernegarn, pemaknaan proses yang seperti ini lebih mengena dikenal dengan demokrasi prosedural.
Lebih jauh, menegakkan pemaknaan dan pengimplementasian demokrasi sejati substantif melampaui proses-proses demokrasi yang hanya melihat dari aspek prosedural dari praktik kepemiluan semata adalah keharusan. Demokratisasi penting dimaknai lebih luas dan demikian juga dalam pengimplementasiannya perlu menyentuh kepentingan rakyat hingga di akar rumput.
Demokrasi substansif memerlukan ruangnya partisipasi publik yang luas dan terbuka, yang perlu didukung serta dijamin oleh legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam pelaksanaan maupun pencapainnya sesuai tugas – kewenangannya. Dengan demikian, demokrasi dan lingkungan hidup mesti berjalan beriringan yang mesti menjadi perhatian bersama segenap pihak yang disebutkan, termasuk oleh penyelenggara – pengawas pemilu. Semoga***
Oleh Hendrikus Adam* Penulis adalah Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat.