Mgr. Sillekens menekankan mengenai betapa penting menghadiri Misa hari Minggu atau hari Maha Tuhan dalam surat gembalanya pada tanggal 14 Januari 1956. Mengenai hal itu, beliau mengatakan bahwa “Allah adalah Pencipta, Tuhan dan Pengatur; tentu umat Katolik yakin juga bahwa dalam keadaan hidup, mereka tergantung seluruhnya daripada-Nya, maka dengan sadar mereka harus mengarahkan hidup kepada Pencipta, memberi syukur oleh karena kebaikan dan kemurahan-Nya, berdoa selalu kepada-Nya yang berkuasa menolong mereka, bahkan terutama mencintai Dia sebagai Bapa yang terkasih.”
Mgr. Sillekens mengingatkan kembali kepada umat di Prefektur Ketapang tentang perintah yang pertama dari sepuluh perintah Allah bahwa mereka diajak untuk jangan memuja berhala, melainkan berbakti kepada Tuhan saja dan mencintai Tuhan lebih dari segala sesuatu. Enam hari mereka telah diberi waktu untuk bekerja, maka pada hari ketujuh harus dikuduskan untuk Tuhan. “Hari kudus untuk umat Katolik dipindah dari hari yang ketujuh ke hari yang pertama dalam minggu, karena peristiwa-peristiwa yang penting dan agung dalam agama Katolik terjadi pada hari pertama itu.” Selanjutnya, Mgr. Sillekens menekankan bahwa “umat Katolik harus menguduskan hari Minggu itu, yaitu: menghadiri Kurban Misa dan meninggalkan segala pekerjaan yang berat dan yang dilarang.”
Mgr. Sillekens mengatakan bahwa “Gereja Kudus mewajibkan umat Katolik sebagai anggota persekutuan dan seumumnya serta dengan upacara umum menghormati dan menghadiri Kurban Misa pada hari Minggu dan hari raya yang disamakan dengan hari Minggu.” “Kewajiban ini penting dan keras, umat Katolik harus menepatinya, kalau tidak mereka akan berdosa berat, kecuali kalau ada alasannya yang cukup, yang membebaskan mereka dari kewajiban ini.” Di samping itu, Mgr. Sillekens meminta kepada umat di Prefektur Ketapang untuk “menghadiri Kurban Misa hari Minggu dengan sopan santun dan penuh minat, memberi syukur dan pujian kepada Allah Bapa, memohon ampun dari segala dosa, dan berdoa supaya oleh kekuatan Kurban tersebut, umat di Prefektur Ketapang mendapat kurnia dan rahmat yang dibutuhkan untuk jiwa dan badan.”
“Mereka yang tidak dapat menghadiri Misa, seperti yang tinggal di kampung-kampung yang jarang didatangi oleh pastor diharapkan supaya mereka juga menguduskan hari Minggu dengan berkumpul untuk berdoa bersama dan mendengar bacaan dari Kitab Suci.” Mgr. Sillekens mengharapkan umat semua, “baik yang sudah Katolik maupun yang masih katekumen, supaya pengetahuan dan pengertian mereka tentang agama semakin ditambahkan dengan menghadiri pengajaran agama pada hari Minggu.” Bagi yang ada kesempatan, diminta oleh Mgr. Sillekens “agar juga menghadiri Sembahyang Pujian atau Salve atau sembahyang malam, supaya hari Minggu itu dikuduskan dengan doa yang memberi kepada Allah penghormatan yang pantas sehingga berguna bagi keselamatan jiwa-jiwa.”
Dalam surat tersebut, Mgr. Sillekens sangat mengharapkan bahwa pada Hari Raya Trinitas Mahakudus diadakan sembahyang istimewa untuk intensi panggilan menjadi imam, bruder dan suster di Prefektur Ketapang. Mgr. Sillekens sangat merindukan bahwa “selekas mungkin pemberian sakramen-sakramen dan pimpinan dalam Gereja di Prefektur Ketapang diserahkan kepada uskup dan imam-imam pribumi.” Mgr. Sillekens juga merindukan bahwa “orang tua dan guru-guru mendukung untuk mengusahakan dan mendoakan supaya di Prefektur Ketapang ada putera-putera yang mempunyai kebesaran hati, keikhlasan dan kesanggupan yang cukup untuk menyerahkan segenap diri menjadi imam dan gembala rohani bagi nusa dan bangsa.”
Dalam surat gembalanya pada tanggal 6 Januari 1960, Mgr. Sillekens berbicara panjang lebar mengenai kedudukan penting seorang imam di tengah-tengah umat Katolik. Beliau menyebut bahwa sakramen imamat memberi imam yang baru tahbisan suci, yaitu cap abadi yang tidak terhapuskan lagi dan kekuasaan rohani, sehingga ia dapat mengambil bagian dari Imamat Kristus sendiri dan berkuasa untuk mempersembahkan Misa Suci dan memberikan sakramen-sakramen.
Lebih lanjut, beliau berkata bahwa karena oleh imam itulah Kristus sendiri mengusahakan agar hidup rohani Gereja-Nya diteruskan. Dalam diri imam-Nya Kristus sendiri mengelilingi dunia ini, mengerjakan keselamatan manusia, mengajar Injil, dan memberi rahmat-Nya dalam sakramen-sakramen. Kemudian, beliau menambahkan bahwa bersama dengan imam, Kristus mengunjungi orang-orang sakit, menghibur yang berdukacita, mengajar yang kurang paham, memberi nafkah yang miskin, memberkati dan mengampuni orang-orang yang berdosa. Oleh sakramen imamat, Kristus hidup di dalam imam-imam-Nya dan bekerja guna keselamatan manusia dan perkembangan Gereja yang merupakan Tubuh Mistik-Nya.
Kendati imam itu mendapatkan rahmat yang istimewa dari sakramen imamat yang diterimanya, Mgr. Sillekens mengajak umat Katolik di Prefektur Ketapang untuk berkenan memaklumi sisi kemanusiaan seorang imam. Mengenai hal itu, beliau berkata demikian, “sudah tentu imam-imam itu tetap seorang manusia dengan segala cacat celanya, sifat dan tabiatnya, tetapi dalam jiwanya, mereka telah menerima cap yang abadi itu, yang oleh cap itu mereka menjadi imam sampai kekal dan mendapat kekuasaan untuk mengampuni dosa dan mempersembahkan Kurban Misa demi nama Kristus sendiri.” “Oleh karena itu, hormatilah senantiasa imam-imammu, percayalah akan mereka dan balaslah budinya.”
Mengenai dedikasi imam, Mgr. Sillekens mengatakan bahwa “untuk keselamatan jiwa-badanmu tiap-tiap imam bersedia mengurbankan diri dan merelakan segala pekerjaan seturut teladan Guru Ilahi mereka, ialah Kristus.” Agar seorang imam dapat mengusahakan keperluan-keperluan rohani secara total untuk umat, ia berikrar hidup selibat untuk selama-lamanya. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa “untuk mengatasi kekurangan imam di sini, ia meninggalkan ibu-bapak, sanak saudara, negeri asalnya dan segala kepunyaannya, dan ia berani menempuh jalan jauh dan sukar untuk membawa kepada umat sekalian anugerah-anugerah Kristus dan memberi kepada umat sekalian sakramen-sakramen.”
Sebagai wujud rasa syukur atas adanya imam di tengah-tengah umat, Mgr. Sillekens menasehatkan kepada umat demikian: “tunjukkanlah perasaan syukur itu dengan jalan membantu sedapat-dapatnya imammu dalam perjalanannya dan dalam hidupnya sehari-hari seperti telah dilakukan di beberapa daerah lain. Pemeliharaan imam-imam ialah tugas dan kewajiban tiap-tiap orang Katolik.”